Catatan Mantan Jurnalis
Edisi : Jurnalis dan Kode Etik
"Jurnalis itu seperti nabi. Kita juga 'Messenger', mirip nabi cuma konstituen ama pesannya aja yang beda. Maka jurnalis itu harus 'suci'. Itulah kira2 kutipan dari percakapanku dan Muhruf, jurnalis Koran Sindo. Kala itu, kita berdiskusi dibawah tangga gedung menko perekonomian sembari menunggu Sri Mulyani.
Perumpamaannya yang bikin merinding. "Wah, berat banget cuy jadi jurnalis itu?!!," kataku.
Maka dari itu, karena pekerjaanya yg 'mulia', jurnalis punya kode etik untuk menjaga 'kesucian' pekerjaanya, diantaranya pesan2 yg ditulis jurnalis harus benar, akurat dan bermanfaat bagi khalayak selain enak dibaca tentunya. Berita pun tak boleh berat sebelah, harus cover both side, cek n ricek. Tak boleh juga menerima amplop untuk berita pesanan apalagi nulis berita miring buat meres, haram hukumnya itu..!!
Apakah selama saya jadi jurnalis saya melakukan hal se-ideal itu..?Ah, saya hanya berusaha menjadi jurnalis yg rajin..*produktivitas berita saya banyak tapi cuma sedikit atau bahkan tidak ada yg bs dibanggakan..haha.
Saya juga pernah nerima amplop, soalnya pengen tahu rasanya nerima amplop hehe..meski sesudah itu saya kembalikan juga setelah saya lihat isinya. *waktu itu mengembalikan amplop berisi satu bulan gaji adalah hal yg berat tapi lega setelah melakukannya. Di kantor saya, ada tuh daftar pengembalian amplop bulan ini.
Amplop itu dikalangan jurnalis biasa disebut 'jale'. Biasa diberikan narasumber, PR perusahaan, instansi pemerintah dan lainnya dengan tujuan agar memperoleh pemberitaan yang baik tentunya. Bisa juga amplop itu ucapan terima kasih karena sudah diekspose. Ini nih, godaan terbesar buat jurnalis, eh buat saya *gak tahu jurnalis yg lain..
Ah, kalau soal amplop sih kayaknya saya belum pernah menerima. Tetapi soal lain, pernah lah dikit-dikit..hehe. saya kadang menerima di-entertain oleh narasumber. Souvenir hasil liputan juga banyak saya koleksi dan bagi-bagi ke OB atau satpam kantor. Manfaatin kartu pers buat bebas tilang polisi juga pernah. Nonton konser gretong pakai kartu pers? Ah, saya pernah juga itu..*pengakuan malu-malu.
Melanggar kode etik ga yah??hehe..ah, saya kan sudah mantan jurnalis..hihi. *ogah debat
So, kesimpulanya adalah selama jadi jurnalis saya adalah jurnalis biasa2 saja.
*Ditulis sembari ngamatin ayam sambil mikir2 Nabi itu mustilah jurnalis atau dikelilingi jurnalis yang baik..:-)
NB : Tulisan ini juga sudah pernah saya terbitkan di facebook. Ini dua komentar pilihan dari dua sahabat Jurnalis saya.
Muhammad Mahruf
Lebih tepat rasul cuy. Nabi dalam terminologinya menerima wahyu untuk dirinya, sementara rasul dari Atas ke bawah; menyampaikan kebenaran Tuhan kepada umat. Sementara pewarta menyampaikan kebenaran umat ke umat lainnya. Sama sama penyampai. Nah dalam analogi ini, saya adalah rasul palsu, karena begitu banyak penyelewengan yg telah gw lakukan...:) piss.
Fatya Al-Faraby
Muhruf si nabi palsu,.
kali ini gw ngiri ama lu Gun. Mungkin cuma lari dari Jakarta gw bs ketemu ruang kosong hingga bs nulis sejernih elo. Jadi Jurnalis di Jakarta itu bagai jalan di siratalmustakim. Gak pandai melangkah dan keberatan dosa, maka nyemplunglah ke neraka. Kl menyambung kawan ma'ruf, jika dia adalah nabi palsu, maka wahyu yg diantarkan adalah bajakan!!!
"Jurnalis itu seperti nabi. Kita juga 'Messenger', mirip nabi cuma konstituen ama pesannya aja yang beda. Maka jurnalis itu harus 'suci'. Itulah kira2 kutipan dari percakapanku dan Muhruf, jurnalis Koran Sindo. Kala itu, kita berdiskusi dibawah tangga gedung menko perekonomian sembari menunggu Sri Mulyani.
Perumpamaannya yang bikin merinding. "Wah, berat banget cuy jadi jurnalis itu?!!," kataku.
Maka dari itu, karena pekerjaanya yg 'mulia', jurnalis punya kode etik untuk menjaga 'kesucian' pekerjaanya, diantaranya pesan2 yg ditulis jurnalis harus benar, akurat dan bermanfaat bagi khalayak selain enak dibaca tentunya. Berita pun tak boleh berat sebelah, harus cover both side, cek n ricek. Tak boleh juga menerima amplop untuk berita pesanan apalagi nulis berita miring buat meres, haram hukumnya itu..!!
Apakah selama saya jadi jurnalis saya melakukan hal se-ideal itu..?Ah, saya hanya berusaha menjadi jurnalis yg rajin..*produktivitas berita saya banyak tapi cuma sedikit atau bahkan tidak ada yg bs dibanggakan..haha.
Saya juga pernah nerima amplop, soalnya pengen tahu rasanya nerima amplop hehe..meski sesudah itu saya kembalikan juga setelah saya lihat isinya. *waktu itu mengembalikan amplop berisi satu bulan gaji adalah hal yg berat tapi lega setelah melakukannya. Di kantor saya, ada tuh daftar pengembalian amplop bulan ini.
Amplop itu dikalangan jurnalis biasa disebut 'jale'. Biasa diberikan narasumber, PR perusahaan, instansi pemerintah dan lainnya dengan tujuan agar memperoleh pemberitaan yang baik tentunya. Bisa juga amplop itu ucapan terima kasih karena sudah diekspose. Ini nih, godaan terbesar buat jurnalis, eh buat saya *gak tahu jurnalis yg lain..
Ah, kalau soal amplop sih kayaknya saya belum pernah menerima. Tetapi soal lain, pernah lah dikit-dikit..hehe. saya kadang menerima di-entertain oleh narasumber. Souvenir hasil liputan juga banyak saya koleksi dan bagi-bagi ke OB atau satpam kantor. Manfaatin kartu pers buat bebas tilang polisi juga pernah. Nonton konser gretong pakai kartu pers? Ah, saya pernah juga itu..*pengakuan malu-malu.
Melanggar kode etik ga yah??hehe..ah, saya kan sudah mantan jurnalis..hihi. *ogah debat
So, kesimpulanya adalah selama jadi jurnalis saya adalah jurnalis biasa2 saja.
*Ditulis sembari ngamatin ayam sambil mikir2 Nabi itu mustilah jurnalis atau dikelilingi jurnalis yang baik..:-)
NB : Tulisan ini juga sudah pernah saya terbitkan di facebook. Ini dua komentar pilihan dari dua sahabat Jurnalis saya.
Muhammad Mahruf
Lebih tepat rasul cuy. Nabi dalam terminologinya menerima wahyu untuk dirinya, sementara rasul dari Atas ke bawah; menyampaikan kebenaran Tuhan kepada umat. Sementara pewarta menyampaikan kebenaran umat ke umat lainnya. Sama sama penyampai. Nah dalam analogi ini, saya adalah rasul palsu, karena begitu banyak penyelewengan yg telah gw lakukan...:) piss.
Fatya Al-Faraby
Muhruf si nabi palsu,.
kali ini gw ngiri ama lu Gun. Mungkin cuma lari dari Jakarta gw bs ketemu ruang kosong hingga bs nulis sejernih elo. Jadi Jurnalis di Jakarta itu bagai jalan di siratalmustakim. Gak pandai melangkah dan keberatan dosa, maka nyemplunglah ke neraka. Kl menyambung kawan ma'ruf, jika dia adalah nabi palsu, maka wahyu yg diantarkan adalah bajakan!!!
0 Response to "Catatan Mantan Jurnalis"
Post a Comment