Kebangkitan Gajah Mada!
Gajah Mada tiba-tiba bangkit dari tidur lelapnya dan cahaya kemegahan kerajaan kuno Majapahit menyeruak, seperti mentari yang terbit di fajar sidik.
Kebangkitan itu terwakili dengan kelahiran novel-novel berlatar Majapahit yang banyak menghiasi rak-rak toko buku belakangan ini. Langit Kresna Hariadi, pengarang yang mukim di Solo, misalkan, menyerbu pasar dengan lima jilid serial Gajah Mada sejak 2005 hingga kini. Ada pula Dyah Pitaloka: Senja di Langit Majapahit(2005) karya Hermawan Aksan dan Sasmita: Bintang Berpijar di Langit Majapahit (2004) karya Tasaro.
Sebenarnya ini sebuah lompatan. Novel bertema majapahit sempat muncul di era Pujangga Baru, lewat Sandyakalaning Majapahit(1933) karya Sanusi Pane dan Zaman Gemilang (1938) karya Matu Mona (nama pena Hasbullah Parinduri). Ini hampir bersamaan dengan terbitnya Gajah Mada (1948) yang disusun Muhammad Yamin.
Sesudah itu popularitas Majapahit sebagai tema novel seakan tenggelam cukup lama. RM Slamet Danusudirdjo, dengan nama pena Pandir Kelana, sempat mengisi ceruk kosong itu dengan meluncurkan Tusuk Sanggul Pudak Wangi: Kisah Lahirnya Majapahit pada 1991.
Lalu, kejayaan Majapahit seakan tenggelam. Barulah beberapa tahun belakangan ini kemegahannya kembali tampak dari sejumlah judul novel yang terbit. Langit Kresna Hariadi tentunya yang paling menyita perhatian dengan lima seri novel Gajah Mada-nya, yang secara berurutan adalah Gajah Mada, Gajah Mada: Antara Tahta dan Angkara, Gajah Mada: Hamukti Palapa, Gajah Mada: Perang Bubat dan Gajah Mada: Madakaripura Hamukti Moksa.
Langit pernah bercerita soal banyaknya tanggapan yang mengalir mengomentari novel-novelnya. Kini setidak-tidaknya ada dua blog yang khusus membahas novel-novelnya–dengan ratusan komentar bertebaran di dalamnya. Pembaca yang terbius oleh nama-nama Sansekerta dalam novelnya pun banyak yang meminta izin sang pengarang untuk mengabadikan menjadi nama buah hatinya.
Kesuksesannya pun tergambar dalam penjualan karyanya. Menurut Gesang dari Tiga Serangkai International, jaringan penjualan dan distribusi dalam Tiga Serangkai Group, kelima novel Gajah Madaitu masing-masing telah dicetak ulang sedikitnya tiga kali, dan buku pertama bahkan sudah dicetak empat kali.
Penerbit sedikitnya mencetak 3.000 eksemplar setiap kali cetak. Jumlah ini terbilang cukup besar untuk ukuran penjualan buku sastra semacam ini.
Langit tidak memulai serialnya ini dari benih imperium Majapahit –ketika Raden Wijaya membabat hutan Tarik untuk mendirikan Desa Majapahit– tapi langsung pada masa kekuasaan Jayanegara, ketika bekelnya, Gajah Mada, mulai ambil peranan dalam sejarah kerajaan itu.
Dalam buku pertama Langit membentangkan sepak terjang Kepala Pasukan Khusus Bhayangkara Gajah Mada dalam menyelamatkan Raja Jayanegara dari pemberontakan Rakian Kuti. Gajah Mada–yang masih berpangkat bekel–berusaha keras membawa rajanya menyingkir ke Desa Bedandher, Bojonegoro. Dari desa itulah Gajah Mada kemudian menyusun kekuatan dan memukul balik Ra Kuti. Bhayangkara muda itu kemudian mengembalikan dampar Majapahit ke Jayanegara.
Salah satu aspek menarik dari buku pertama ini adalah uraian Langit mengenai teknik telik sandi yang dijalankan oleh Gajah Mada dan pasukan khususnya ini. Kemampuan mereka dalam olah kanuragan –seperti memanah, melempar pisau, berkelahi, dan menyamar– digambarkan cukup masuk akal, tanpa bumbu-bumbu ajian sakti mandraguna seperti yang selama ini menyelimuti legenda Gajah Mada. Selain itu, gelar perang seperti Diradamerta, Garuda Layang, Cakrayubha, Supit Urang atau Perang Brubuh digambarkan dengan cukup gamblang dan megah.
Pengarang juga menyisipkan kisah cinta terpendam antara tabib Ra Tanca dan Sekar Kedaton Dyah Wiyat. Dia juga menyelipkan teka-teki yang menjadi ciri khasnya. Kisah pengkhianatan pun menjadi bumbu yang menambah mak nyus heroisme Pasukan Bhayangkara.
Buku kedua Gajah Mada, setebal 508 halaman, diawali dari terbunuhnya Sri Jayanegara oleh Ra Tanca setelah sembilan tahun pemberontakan rekannya, Ra Kuti, gagal. Mangkatnya sang raja membuat istana kalang kabut karena Jayanegara tidak mempunyai keturunan. Para ratu pun berunding untuk memutuskan pengganti Jayanegara. Alternatifnya, tahta akan diwariskan kepada dua saudara perempuannya, Sri Gitaraja dan Dyah Wiyat.
Kekosongan kekuasaan inilah yang menjadi arus utama buku kedua ini. Raden Cakradara dan Raden Kudamerta yang akan mempersunting kedua putri mahkota tersebut sama-sama berambisi menjadi raja. Keadaan semakin rumit ketika hal itu dimanfaatkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Gajah Mada dan Pasukan Bhayangkaranya kembali dituntut untuk menyelesaikan sebuah rencana makar dan persekongkolan berbelit yang memayungi istana.
Proses investigasi Gajah Mada dengan dukungan teman-temannya ditulis dengan sangat menarik. Teka-teki panjang akhirnya diurai berkat kelihaian Gajah Mada. Sesuai catatan sejarah, setahun setelah kematian Jayanegara, Sri Gitaraja dan Dyah Wyat bersepakat untuk memimpin Wilwatikta berdua. Gajah Mada yang banyak berperan pangkatnya bersinar dan diangkat menjadi patih di Daha.
Dalam buku ketiga, Gajah Mada: Hamukti Palapa, Langit benar-benar menjadikan Gajah Mada sebagai aktor utama. Lenyapnya pusaka kerajaan Cihna Nagara Gringsing Lobheng Luwih Laka dan Songsong Udan Riwis menjadi misteri yang harus dipecahkan Patih Gajah Mada, Senopati Gagak Bongol, Senopati Gajah Enggon, Pradabhasu dan bhayangkara lainnya. Penelusuran terhadap lenyapnya kedua pusaka itu membawa telik sandi di bawah pimpinan Gajah Mada menguak rencana makar di Keta dan Sadeng.
Kali ini Langit sedikit demi sedikit mulai membuka beberapa rahasia. Percintaan Sekar Kedaton Dyah Wiyat dan Ra Tanca terungkap. Begitu pula asmara masa lalu Ratu Gayatri dengan mantan maling Wirota Wirogati, yang ternyata ikut mendalangi pemberontakan. Langit pun menguak sedikit kisah cinta segitiga antara Dyah Menur, Raden Kudamerta (suami Prabu Putri Dyah Wiyat), dan mantan bhayangkara Pradabhasu.
Selain itu, Langit juga menyusupkan lintasan ke belakang tentang pemberontakan Ken Arok dan kisah keris Empu Gandring, cerita Raja Singasari Kertanegara mengusir utusan Tartar, runtuhnya Singasari akibat serangan Kediri, sampai pada perjuangan Raden Wijaya mendirikan negeri baru di atas Tanah Perdikan Tarik.
Langit juga mulai bermain dengan mistik yang lazim hadir dalam legenda zaman dahulu. Ilmu-ilmu yang muskil–seperti mendatangkan kabut, angin ribut, ilmu sirep, menghilang atau telepati–dihadirkan.
Akhirnya, Gajah Mada berhasil memadamkan pemberontakan Keta dan Sadeng dengan gemilang. Atas rentetan prestasinya, Mpu Mada kemudian ditahbiskan menjadi mahapatih menggantikan Arya Tadah yang sudah renta. Saat dilantik menjadi mahapatih inilah Gajah Mada mengucapkan sumpah yang menggetarkan, Sumpah Sakti Hamukti Palapa
Demikian sumpahnya: “Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa”. Artinya, Gajah Mada belum akan menikmati palapa (kemewahan duniawi) sebelum menyatukan seluruh Nusantara di bawah panji-panji Gula Kelapa Majapahit.
Perang Bubat yang menjadi titik balik karir Sang Mahapatih menjadi inti cerita buku keempat. Perang Bubat adalah tragedi sejarah di mana Raja Sunda-Galuh (Pajajaran) dan putrinya, Dyah Pitaloka, beserta seluruh pengiringnya gugur dalam pertempuran melawan pasukan Gajah Mada di Tegal Bubat. Raja Pajajaran Prabu Linggabuana tidak sudi meluluskan permintaan Gajah Mada, yang meminta Dyah Pitaloka diserahkan sebagai upeti, tanda tunduk kepada kekuasaan Majapahit. Padahal, dalam perjanjian sebelumnya Dyah Pitaloka akan dipersunting menjadi permaisuri Prabu Hayam Wuruk.
Harga diri ksatria Sunda terkoyak dengan permintaan Gajah Mada. Mereka yang hanya berjumlah kurang dari seratus orang itu kemudian mengamuk melawan pasukan segelar sepapanMajapahit. Semua pengiring raja dan Putri Sunda yang sudah bersiap besanan dengan Maharaja Majapahit pun akhirnya tumpas tapis, termasuk Dyah Pitaloka yang memilih mengakhiri hidupnya dengan mati lampus (bunuh diri).
Selain dramatisnya Perang Bubat, jangan lupakan gelegak cinta Saniscara terhadap Dyah Pitaloka. Dengan kekuatan cintanya Saniscara melukis putri pujaannya seolah hidup. Namun, lukisannya pula yang membuat Prabu Hayam Wuruk kemudian ingin menyunting Putri Sunda itu. Kisah cinta mereka berdua menjadi bumbu yang sangat “pedas” yang mengiringi Tragedi Bubat.
Di mana Gajah Mada selepas Perang Bubat? Kisah Sang Mahapatih usai peristiwa yang menjadi titik balik karirnya itu tidak banyak diketahui orang, seperti juga asal-usulnya yang samar. Buku kelima Langit ini berada pada ranah perjalanan Gajah Mada setelah lengser dari jabatan mahapatih usai peristiwa Bubat.
Sang Mahapatih diceritakan menyepi ke Madakaripura. Gajah Mada, yang menjadi rakyat biasa, kemudian menyaksikan benih-benih perpecahan yang menggerogoti imperium Majapahit yang dibangunnya. Selain itu, Langit juga menyajikan spekulasi balas dendam dari Pajajaran kepada Gajah Mada serta mulai munculnya Islam di bumi Majapahit.
Langit kemudian membuat penyelesaian cerita Gajah Mada di buku ini, Madakaripura Hamukti Moksa. Semua misteri yang dibangunnya terkuak tuntas. Ada banyak hal dan tokoh yang harus diingat dari buku terdahulu. Kejutan-kejutan tak terduga pun dihadirkan pengarang sampai halaman terakhir bukunya.
Namun, Gajah Mada tetaplah seorang tokoh yang menyimpan misteri. “Biarlah orang mengenangku hanya sebagai Gajah Mada yang tanpa asal-usul, tak diketahui siapa orang tuanya, tak diketahui di mana kuburnya, dan tak diketahui anak turunannya. Biarlah Gajah Mada hilang lenyap, moksa tidak diketahui jejak telapak kakinya, murca berubah bentuk menjadi udara,” tulis Langit di akhir buku ini.
Cukup banyak memang yang dihadirkan Langit dalam kelima bukunya, tapi tetap saja terasa kurang. Masih ada cerita penaklukan Nusantara yang luput diceritakan. Masih ada juga kisah Perang Paregreg yang mengakhiri gilang-gemilangnya Majapahit. Majapahit memang terlalu besar jika hanya dihadirkan dalam sosok Gajah Mada.
Namun, usaha Langit untuk menghidupkan kembali imperium yang hilang ini pantas diacungi jempol, terutama kemampuan bertuturnya yang membuat buku sejarah yang membosankan menjadi memikat.
Banyaknya catatan kaki yang menjelaskan latar belakang historis juga menunjukkan keseriusan sang pengarang dalam melakukan observasi sebelum menulis. Pilihan istilah Sansekerta dan ungkapanjadul dia tulis dengan penjelasan yang gamblang. Istilah segelar sepapan, tumpas tapis, makantar-kantar, nggegirisi, rawe-rawe rantas malang-malang putung dan beberapa idiom lainnya memberikan bumbu manis novel ini.
Langit pun menghadirkan sisi lain dari kerajaan terbesar yang pernah berdiri di bumi Nusantara itu. Ia menggambarkan bagaimana demokrasi sudah terbangun sejak zaman Majapahit. Tradisi pepe atau berjemur beramai-ramai untuk menyampaikan aspirasi kepada penguasa, mengingatkan pada aksi demonstrasi jalanan saat ini. Selain itu, sistem hukum Majapahit pun digambarkan sudah sedemikian baik dengan Kitab Kutaramanawa (semacam konstitusi dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana saat ini).
Kalau pun perlu memberi catatan, barangkali soal kurang liarnya imajinasi pengarang dalam, misalkan, gambaran tentang perang yang berkobar dan percintaan yang panas. Sehingga eksplorasinya terkesan tanggung. Selain itu, Langit juga sering mengulang kata-kata dan memberikan penjelasan yang sebenarnya tidak perlu.
Kalau Langit mencoba setia pada alur sejarah Gajah Mada dan cenderung realis, Sasmita: Bintang Berpijar di Langit Majapahitkarya Tasaro, nama pena Taufik Saptoto Rohadi, lebih berfantasi. Novel setebal hampir 500 halaman terbitan DAR Mizan ini mengambil latar kisah menjelang runtuhnya Majapahit. Tasaro meramu cerita sejarah, jurus-jurus silat sakti ala Kho Ping Ho dan kisah cinta.
Tasaro kemudian melanjutkan imajinasinya melayang antara Pajajaran dan Majapahit dengan menyajikan trilogi Pitaloka: Cahaya, Pitaloka: Mahkota dan Pitaloka: Nirwana.
Ketiga novel ini lebih menonjolkan sosok Dyah Pitaloka Citraresmi, putri Sunda yang memikat hati Raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk. Pitaloka digambarkan sebagai gadis yang luar biasa, yang nantinya mampu menggagalkan ambisi Mahapatih Gajah Mada untuk membuat Pajajaran tunduk di bawah panji Majapahit lewat tragedi Perang Bubat.
Dengan gaya bahasa yang cukup puitis, Tasaro menyajikan kilatan pedang, drama, politik dan tentu saja cinta menjadi ramuan yang layak baca. Buku pertama dari trilogi ini sudah diterbitkan pada awal 2007 oleh Penerbit Aditera.
Hermawan Aksan kemudian menghadirkan novel perdananya yang juga mengambil latar tragedi di Tegal Bubat. Pitaloka: Senja di Langit Majapahit yang diterbitkan pertama kali di akhir 2005 itu bertutur mengenai pergulatan kekuasaan dan politik di tengah tragedi memilukan dalam perang tersebut. Hermawan menghadirkan kisah yang menjadi nila bagi kehebatan Gajah Mada itu.
Kisah Dyah Pitaloka dan 93 ksatria Pajajaran yang tumpas dalam peristiwa berdarah itu digambarkan sangat dramatis. Dyah Pitaloka digambarkan Hermawan menjadi korban ambisi politik Mahapatih Gajah Mada yang ingin menuntaskan Sumpah Sakti Hamukti Palapa dengan menyatukan Nusantara tanpa cela.
Sepertinya, kebangkitan tema novel berlatar kerajaan-kerajaan Nusantara kuno masih akan berlanjut. Tasaro baru menyelesaikanPitaloka: Cahaya dan masih punya dua buku lagi yang belum rampung dan patut dinanti terbitnya.
Langit Kresna dengan semangatnya yang makantar-kantar baru saja meluncurkan serial pertama Candi Murca yang berjudul Ken Arok Hantu Padang Karautan. Seri ini, menurut Langit, akan diteruskan menjadi sepuluh edisi. Serial ini mempertemukan kisah di zaman Singasari dan masa depan di tahun 2011.
Sebenarnya sejarah Indonesia masih sangat kaya untuk diolah kembali menjadi fiksi. Masih ada kisah Sriwijaya, Mataram, Kutai, Tarumanegara, Kahuripan, Medang Kamulan dan lainnya yang menanti mantra para pengarang untuk bangkit kembali.
ini Tulisan Gue, Pernah dimuat di Ruang Baca Koran Tempo (November 2007)
0 Response to "Kebangkitan Gajah Mada!"
Post a Comment