Yohana, Gadis Berlin
Aku prihatin dengan blog ku ini. Aku buat sejak 2007 tapi lebih banyak diterlantarkan. Dia pasti merana. Uh, jaring laba-laba sudah hampir memenuhinya. Aku rawat lagi kamu yaa. Mau kan? OK. Kalau mau kita mulai mengisi hari-harimu dengan repost tulisan di fesbuk yah. Semoga kali ini istiqomah ngebloggernya.
Ini ada cerita menarik tentang perjumpaanku dengan gadis asing di kereta.
Part
1
Aku
baru saja meletakan pantat di kursi 10 C, gerbong 4, kereta api Taksaka Gambir-Purwokerto
saat seorang gadis bule berambut blonde kepayahan menaruh tas carrier warna
biru super besar di bagasinya. Aku bergegas membantunya, Ia tersenyum manis,
aku balas. “Terimakasih,” ujarnya dengan logat khas bule. Akhirnya, Ia duduk,
aku juga. Kitapun saling pandang dan mulailah obrolan.
“Hei,
mau kemana?”
“Ke
Jogja”
“Kamu
dari mana”
“Aku
dari Berlin, Jerman. Kamu tahu Berlin?”
“Oh,
tentu saja, Berlin kota yang terkenal di Jerman bukan? Kota penuh sejarah dan
pernah terbagi dua, barat dan timur”
“Ya,
biasanya orang lebih kenal Munchen atau Hamburg, Dortmund”
“Mmh,
saya punya teman di Leipzig. Namanya Adrew. Dia orang serbia, imigran di
negaramu. Istrinya orang Puerto Rico”. (Tampaknya dia terkesan karena saya tau
Leipzig. Padahal, aku hanya jumpa sekilas di Lombok dengan pasangan itu.. hehe)
“Oh
ya? Saya lahir dan sampai sekolah junior disana. Baru kemudian pindah ke
Berlin”
“Ngomong-omong
boleh kenalan, Saya Igoen,” ujarku sambil mengulurkan tangan
“Yohana,”
ujarnya singkat. “Kamu darimana?”
“Purbalingga,
Jawa Tengah. 3-4 jam ke Jogja. Kamu sendirian?”
“Iya.
Saya suka traveling sendiri”
“Kenapa?
Apa tidak takut?”
“kenapa
harus takut. Traveling sendirian itu menyenangkan. Kita bisa mengambil
keputusan sendiri, tidak harus berdebat. Tidak harus menyamakan selera dan
kompromi dengan orang lain. Lagipula teman bisa ada dimana saja”
“Ya,
ya. Saya sering melihat remaja eropa biasa traveling sendirian. Beberapa waktu
lalu saya berjumpa dengan remaja Perancis baru lulus SMA traveling sendirian di
Lombok. Apa memang seperti itu budayanya?
“Mungkin,
kalau saya sendiri memang sudah diajari mandiri. Ibu saya selalu mengajarkan saya
menjadi wanita yang independen”
“Bagus.
Kalau remaja disini tidak banyak yang seberani kamu. Kamu masih sekolah?”
“Saya
baru lulus dari kedokteran. Kebetulan sedang menunggu untuk bekerja dan praktek
dokter. Banyak waktu luang, saya traveling saja”
“Kenapa
memilih ke Indonesia?”
“Negaramu
saya dengar sangat indah dan luas. Saya dengar dari teman saya yang belajar
disini biaya hidupnya juga murah. Itu penting buat saya, karena saya belum
punya pekerjaan tetap.. hehe. Saya alokasikan waktu 7 minggu disini, sepetinya
kurang untuk menjelajahinya semuanya ya? ”
“Ya,
ya. Kamu harus lebih lama tinggal disini.. hehe. Sudah ke Bali?”
“Hmm,
saya tidak suka ke Bali. Saya dengar disana sangat ramai dan banyak turis. Saya
kurang suka yang terlalu ramai. Saya lebih suka alam, suasana yang lebih sepi
dan nyaman serta bisa berinteraksi dengan masyarakat”
“Oh
ya, sudah kemana saja?
“Baru
empat hari disini, kemarin saja di Cikini. Keliling Jakarta saja. Saya suka
orangnya ramah-ramah, hanya saya prihatin pengelolaan sampahnya kurang bagus.
Saya kasihan banyak orang harus tinggal dekat sampah. Itu tidak sehat”
(Kok
tiba-tiba nyambung sampah). “ya, begitulah. Kamu bisa lihat yang lebih buruk di
negaraku. Memang kita belum bisa mengelola sampah dengan baik”
“ya,
sampah memang susah dikelola dengan baik. Plastik salah satunya. Harus diakui
itu salah satu penemuan besar dan sekarang semua orang menggunakannya akan
tetapi menjadi masalah besar saat ini. Jika direcycle seberapa banyak yang akan
di daur ulang, di bakar asapnya sangat tidak sehat dan menggangu. Serba salah”
“Ya.
Begitulah. Ngomong-omong, sudah traveling kemana saja?”
“Tidak
banyak. Saya baru ke afrika dan amerika. Kalau ke asia ini baru pertama
kalinya, ke negaramu. Ngomong-omong apa yang menarik di Jogja?”
“Oh,
banyak sekali. Kalau kamu suka aktivitas di alam disana ada pantai yang indah,
gunung, gua. Kami juga punya keraton. Budaya masyarakatnya juga menarik, kamu
pasti suka. Kalau kamu suka sejarah, banyak kamu temukan candi-candi. Ada
prambanan, ratu boko, borobudur dan masih banyak yang lainnya”
“Ya,
saya suka candi. Banyak reliefnya yang biasanya menggambarkan sesuatu, menarik”
“Ya,
prambanan candi hindu yang banyak menceritakan kisah kisah epos ramayana.
Disana kamu bisa menikmati sendratari ramayana yang indah dan spectakuler
apalagi kalau sedang bulan purnama. Kalau borobudur candi hindu, reliefnya
banyak bercerita perjalanan hidup manusia dari yang paling buruk, baik sampai
perjalanan ke surga”
“Ok.
Saya pasti kesana”
“Harus.
Kalau kamu ingin candi yang unik ada candi sukuh. Bentuknya seperti piramida
Suku Maya dan Inca di Amerika dan reliefnya menggambarkan orang sedang bercinta
dengan berbagai macam gaya.. hehe”
“Oh
ya, menarik sekali... hehehe”
“ya
ya, negara kami negara yang kaya. Ada hindu, budha dan sekarang di dominasi
muslim dan kristen, kita hidup rukun dan damai”
“ya,
sekarang toleransi menjadi sangat penting. Kami menghadapi persoalan dengan
masuknya pengungsi dari timur tengah, terutama Syria. Banyak pro kontra
bagaimana menghadapinya”
(Wah,
luas sekali obrolanya, sampai politik segala). “Tapi saya dengar pemerintah
negaramu cukup terbuka terhadap pengungsi muslim, Angela Merkel banyak dipuji
karena kebijakannya”
“iya,
saya suka Angela tapi tidak dengan partai politik dan koalisinya. Mungkin
tampak terbuka tetapi banyak yang fanatik dan rasis juga”
Part 2
Ngobrol
dengan orang baru dalam perjalanan adalah salah satu hal yang menyenangkan
bagiku, terlebih kalau patner bincangnya asik. Nah, Yohana adalah bule yang
ramah dan memenuhi kualifikasi sebagai lawan ngobrol yang asyik. Selain cantik,
dia juga menarik dan menggelitik. Obrolan kami dalam perjalanan kereta Gambir-Purwokerto
terentang luas dari soal pribadi, pendidikan, travelling, kuliner, politik,
agama dan cin... ah..
Btw, Yohana
ini baru pertama kali ke Indonesia. Kosakatanya bahasa minim, Ia baru belajar
“terimakasih” “selamat jalan” dan beberapa kosa kata sederhana serta
mengandalkan buku pegangan traveller, Lonely Planet edisi Indonesia. Selain
bahasa ibunya, Ia mengaku bisa berbahasa Inggris, Prancis dan sedikit Spanyol.
Dia orang yang smart, makanya meski Bahasa Inggris ku buruk dia bisa mengerti
dengan baik dan obrolan bisa berlangsung lancar. Dia bisa mengerti apa maksudku
yang spelling nya amburadul ditambah bahasa isyarat, aku juga paham yang dia
sampaikan karena gaya bicaranya tenang dan gamblang.
Ok, kemarin
bagian pertama sudah saya tulis. Oh ya, tentu saja percakapan ini tidak persis,
ada tambah dan kurang biar pas konteksnya. Ada juga yang luput.
Lanjut ke
bagian kedua.
“Yohana,
maaf, apa pendapatmu tentang Muslim?”
“Hmmh, saya
tahu banyak yang menyatakan bahwa muslim adalah teroris. Saya tidak setuju akan
hal itu. Itu pendapat orang rasis dan orang rasis dimana-mana ada. Ini harus
dilawan. Kamu tahu Trump kan? Presiden Amerika itu juga sangat rasis, sangat
buruk bagi kemanusian. Pernyataan dia terbaru tentang Afrika (Pernyataan Trump
soal orang afrika keluar dari lubang anus), itu sangat sangat buruk..”
“Ya, ya, saya
sependapat denganmu. Ngomong-omong, apa agamamu?”
“Ibu dan
bapak saya Kristen, tapi jujur saya sudah tidak pernah ke gereja.. hehe. Tapi
itu tidak masalah, orang tua saya membebaskan apa yang menjadi kepercayaan
saya. Ngomongin keyakinan hal yang susah ya, yang jelas saya percaya Tuhan
tetapi tidak terlalu fanatik beragama. Saya percaya semua agama baik, fanatisme
yang membuat jadi buruk”
“Bisa saya
sebut kamu agnostik?”
“Ya, boleh
dibilang begitu. Bagaimana dengan kamu?”
“Ya, saya
muslim dan saya menghargai keyakinan orang lain yang berbeda. Saya suka kutipan
dalam sebuah novel yang menceritakan persahabatan antara orang Afganistan dan
Amerika. Waktu mereka berpisah Si Afgan yang muslim bilang ke Si Amerika yang
kristen : Semoga nanti kita bisa bertemu di Surga, meskipun kamarnya nanti
berbeda”
“Kutipan yang
bagus. Ngomong-omong dingin juga ya,” ujarnya kemudian naik ke atas kursi dan
mengambil scaf tebal di carriernya untuk menyelimuti bagian atas tubuhnya yang
hanya mengenakan baju krem tipis melapisi tank top hitamnya.
Hmm, AC
kereta eksekutif memang terlalu dingin.“Bukanya kamu terbiasa dengan dingin?”
“Iya, tetapi
rasanya dingin juga sekarang. Di Jerman sekarang sedang musim dingin juga”
(“tapi
obrolan kita hangat kan?,” ujarku dalam hati). “Ngomong-ngomong apa yang
menarik di Jerman?”
“Hmm, apa ya,
tergantung apa yang kamu suka?. Negeriku banyak bangunan bersejarah. Ada juga
gunung. Kalau pantai tidak banyak karena kami di tengah benua eropa. Ada pantai
juga sangat dingin meskipun di musim panas, tidak asik buat berenang apalagi
berselancar,” katanya sambil menunjukan foto pantai.
“Oh ya? Kalau
disini kamu bisa berenang dan berselancar juga menyelam sepuasnya”.
Ngomong-omong bagaimana keluargamu?
“Ya, saya
punya seorang adik perempuan. Ibu saya seorang fisioterapis dan ayah saya
seorang biologist. Adik saya mau menikah bulan Mei tahun ini”
“Oh ya, cukup
muda udah mau nikah ya. Bagaimana dengan kamu, sudah punya suami atau pacar?”
“iya, adik saya
terlalu cepat menikah. Kalau saya punya pacar, Dia masih kuliah. Dan kami belum
berpikiran untuk menikah sama sekali”
“ya, biasanya
org eropa menikah di umur yang matang. Btw, kenapa tidak travelling dengan
pacarmu?”
“Dia sedang
sibuk. Lagipula lebih asyik travelling sendiri. Nanti saya kalau bulan madu
baru berdua.. hehe. Hmm, mau camilan?. Ini dari Jerman lho,” ujarnya sambil
menyodorkan snack ringan dengan kemasan berbahasa Jerman.
“Tidak,
terimakasih, saya sudah bawa,” ujarku sambil menunjukan Roti O yang ku beli di
Stastiun Gambir tadi. "Sudah coba kuliner Indonesia?"
“Sudah, tapi
makanan biasa-biasa saja di restoran. Apa yang spesial?”
“Banyak,
kalau di Jogja ada gudeg”
“Oh ya, saya
baca di buku”. Ia lalu membuka buku dan menujukan bagian : Jogja Street Food.
Disitu dia menunjukan kata ‘Gudeg’. “Ini kan? terbuat dari apa saja?”
“hmm, iya
betul, gudeg itu nasi ditambah sayur nangka, beberapa sayur berbumbu khas
Indonesia, ayam atau telor”. Saya kurang bisa menjelaskan apa itu krecek, telor
pindang atau opor apalagi bumbu-bumbunya. “Yang jelas enak, kamu harus coba”
“Baiklah,
akan saya coba nanti di Jogja”
"kalau
kuliner di Jogja hati hati ya. Penjual disana suka ada yang menaikan harga
seenaknya untuk para turis. Pastikan kamu sudah liat daftar harganya terlebih
dahulu"
"baik,
makasih tipsnya ya"
Obrolan
berlanjut sampai aku kebelet pipis, jadi aku cari alasan untuk ke toiket tanpa
bilang aku mau kesana. Nggak elegan soalnya memotong obrolan izin ke toilet..
Hehe.
“Yohana, kamu
perlu istirahat. Jogja masih cukup jauh”
“Baiklah,
saya mau melanjutkan baca. Semoga bisa ngantuk dan tidur. Kamu juga ya”
Sepeminuman
teh kemudian, Yohana sudah khusyu membaca. Aku pergi ke toilet, lalu duduk
kembali dan asyik nonton youtube. Lagi gandrung Marion Jola dan Ghea
Indrawari.. hehe.
Tiga kali
penanakan nasi kemudian, terdengar pengumuman bahwa kereta sebentar lagi tiba
di Stasiun Besar Purwokerto. Aku berbegas mengambil tas dan bersiap-siap turun.
Ku lirik Yohana juga bangun dari tidur ayamnya. Kamu beradu pandang. Ia
tersenyum.
“Kamu sudah
mau sampai?”
“Iya.
Sebentar lagi. Btw, boleh minta foto berdua denganmu?”
“ya, tentu
saja. Tapi aku baru bangun , mukanya masih sepeti hantu, ujar dia mengucek
matanya dan merapikan rambutnya dengan tangan”
“Tidak
apa-apa, buat kenang-kenangan saja”
Cekrek,
cekrek
“Terimakasih
ya”
“Sama-sama.
Ngomong-ngomong kamu suka foto-foto dengan turis asing seperti saya?”
“Ya, tidak
semua. Kalau sudah cukup mengenal saja baru minta foto”
“Soalnya saya
lihat orang sini suka sekali foto dengan turis asing”
“Haha, ya
ya... begitulah. Terimakasih ya, senang berbincang dengan kamu. Sampai jumpa
lagi di lain waktu”
0 Response to "Yohana, Gadis Berlin"
Post a Comment