Demonstrasi
Adegan Demonstrasi Pada Film Dibalik 98 (fimela.com) |
Demonstrasi,
kira-kira definisinya adalah sebuah aksi protes yang dilakukan khalayak dengan
cara turun ke jalan untuk menuntut atau menentang suatu hal kepada penguasa
ketika jalur resmi untuk menyalurkan aspirasi dirasa mampat.
Bumi Nusantara
ini sebenarnya tak asing dengan tradisi demonstrasi. Pada era Majapahit juga
sudah ada ‘pepe’, yaitu, cara kawula Negeri Wilwatikta yang merasakan ketidakadilan
atau menuntut sesuatu kepada penguasa. Mereka berjemur diri di alun-alun sampai
ada perwakilan penguasa atau bahkan raja merespon aksinya. Selanjutnya,
tuntutan mereka ditimbang dan diputuskan berdasarkan Kitab Kutaramanawa, KUHP
ala negeri yang didirikan oleh Sanggrama Wjaya itu.
Demonstrasi
terus terjadi di negeri yang kemudian menjadi Republik Indonesia hingga kini. Salah
satu negara demokrasi yang katanya terbesar di dunia ini intim sekali dengan
penyampaian aspirasi jalanan itu. Tak cuma sekedar ‘pepe’, caranya sudah
bermetamorfosis menjadi bermacam bentuk. Ada aksi pengerahan masa, kadang
diselingi bakar ban, sabotase sampai bentrok masa. Ada pula aksi teatrikal
dengan pertunjukan seni yang menarik sampai aksi telanjang ala aktivis femen.
Ada juga dengan mogok kerja, mogok makan bahkan mogok ngeseks.
Setelah republik
ini berdiri, mahasiswa menjadi penggerak utama demonstrasi. Orde, baik yang
lama maupun yang baru, tumbang dengan gerakan demonstrasi mahasiswa. Pada saat
gerakan reformasi 1998, saya masih berseragam putih biru, namun aura reformasi
sedikit hinggap dalam benak dan pikiranku meski harus bersaing ketat dengan
introduksi Enny Arrow, Fredy S, keping-keping VCD film nganu, nintendo dan
konco-konconya.
Saat kemudian
memasuki bangku kuliah pada 2001, masih banyak senior veteran aktivis 1998 yang
bercokol di kampus. Mereka sedang bangga-bangganya dan tenggelam dalam euforia
setelah berhasil menumbangkan orde baru yang begitu perkasa 32 tahun berkuasa.
Semangat dan idealisme mereka pun coba ditularkan ke adik-adiknya.Pada saat OSPEK
salah satu materi yang wajib diajarkan adalah bagaimana berdemonstrasi. Lagu
wajibnya yang diajarkan adalah Totalitas Perjuangan, Darah Juang dan lagu-lagu pembakar
semangat untuk bergerak menentang tirani. Bahkan, salah satu sesinya adalah
simulasi demonstrasi, ada yang bertindak sebagai aparat, pendemo, kordinator,
orator dan lainnya.
Aku termasuk
yang terpapar mereka, maka, selain menimba ilmu ikut pula jadi aktivis, ya
meski aktivis ecek-ecek lah. Malam-malam di kampus pun akhirnya diwarnai dengan
rapat-rapat organisasi intra dan ekstra kampus. So, karena ceritanya jadi
aktivis maka tidak demo tidak afdol dong. Sekira 2003-2004 beberapa demontrasi
pernah aku ikuti mulai dari di depan Gedung DPR, Kejaksaan, Kedubes Amerika,
Bundaran HI dengan tuntutan
bermacam-macam.
Salah satu
yang paling memorable adalah demo di bundahan HI, sebab, esok harinya fotoku
dengan jaket almamater tangan mengepal dan tengah berteriak lantang terpampang
di halaman depan Harian Rakyat Merdeka. Sayang eksemplar koran itu hilang.
Sayembara ini, kalau yang punya koran itu aku kasih hadiah. Kalau cowo kujadikan
saudara, kalau cewe aku jadikan istri cariin suami.
Memang, ada
kebanggaan meruap-ruap di dada ketika berdemo. Seolah, sah sudah menjadi
mahasiswa, agen of change, pembela rakyat... hahaha. Mahasiswa lain yang hanya
berkutat 3K, kampus, kantin dan kos-kosan tampak tidak mahasiswa banget lah...
Waktu
berlalu, kebanggan pada para demonstran lama kelamaan luntur. Pekerjaan sebagai
jurnalis dan ditempatkan di DPR pula 1 tahun diawal karirku membuat dengan
mudah bisa mengetahui bopeng-bopeng wakil rakyat, termasuk para mantan aktivis
yang aku kagumi ternyata larut juga di dalamnya.
Namun, apresiasi
kepada demonstrasi masih ada untuk aksi ibu-ibu Pegunungan Kendeng yang secara
heroik menolak tanahnya dieksploitasi korporasi, aksi kamisan yang puluhan
tahun dilakukan oleh keluarga korban kerusuhan 98 dan aksi 212 yang bisa
menghadirkan begitu banyak masa dengan sejuk, rapih, adem dan tidak menimbulkan
gelojak.
Kalau aksi
yang sekarang akhir-akhir ini marak? Hmmh... terlalu banyak penunggang gelap
dan saya sepakat sama pendapat Soe Hok Gie : “Politik adalah barang yang paling
kotor. Lumpur-lumpur yang kotor”.
0 Response to "Demonstrasi"
Post a Comment