Battle of Blater, Perjuangan Rakyat Purbalingga Mempertahankan NKRI
Tugu Juang Blater, Kini (Dok Pribadi) |
Seri Cerita Sejarah PurbalinggaAda sebuah bangunan unik yang nyempil di Jalan Mayjend Sungkono, Desa Blater, Kecamatan Kalimanah, Purbalingga. Jika kita melaju ke arah Banyumas, bangunan sederhana berupa tugu setinggi kurang lebih 3,5 meter itu berada di sebelah kiri jalan.
Jika kendaraan melaju kencang, niscaya kita tak akan ngeh adanya bangunan tersebut. Apalagi kondisinya relatif tidak terawat dan sudah diapit ruko-ruko. Padahal, tugu bercat kombinasi hitam, krem dan emas itu adalah sebuah monumen penting peristiwa bersejarah di Purbalingga.
Nama resminya, Monumen Perjuangan, Tugu Juang Blater atau dulunya TOEGOE JOEANG BLATER. Tugu tersebut dibangun sebagai peringatan perjuangan rakyat Purbalingga melawan agresi militer Belanda yang terjadi di Desa Blater. Biar keren, boleh ya, saya sebut sebagai 'Battle of Blater'.
Pada pangkal tugu terdapat tulisan yang menjadi penanda terjadinya peristiwa tersebut :
KAMIS WAGE
31 JULI 1947
WASITA SUCI KUSUMANEGARA.
Tulisan di pangkal Tugu Blater (Dok. Pribadi) |
Tugu Juang Blater, Dulu (www.totoendargosip.blogspot.com) |
Kemudian tulisan bawahnya juga berubah, dulunya seperti ini :
Meskipun bernama Tugu
Juang Blater namun peristiwa yang diperingati pada 31 Juli 1947 tersebut tidak hanya terjadi di
Blater. Pertempuran antara para pejuang kemerdekaan melawan Tentara
Belanda terjadi di sepanjang jalan raya yang masuk wilayah desa, Selabaya,
Sidakangen, Blater dan Jompo yang berada di Kecamatan Kalimanah. Jadi, menurut
saya bisa saja disebut sebagai Pertempuran Kalimanah.
TOEGOE JOEANG BLATER
KAMIS WAGE,31-DJOELI-1947
WASITA SUCI KUSUMANEGARA.
Tulisan di Pangkal Tugu Blater, Dulu (www.totoendargosip.blogspot.com) |
Jalannya Pertempuran
Ihwal pertempuran heroik tersebut, dimulai dari saat 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya. Namun, Belanda rupanya tidak rela negeri yang kaya raya itu lepas dari genggaman tangan mereka. Belanda ingin kembali bercokol di Nusantara, maka berbagai macam cara ditempuh, baik perundingan maupun dengan persenjataan.
Salah satu perundingan yang usai proklamasi kemerdekaan yang dilakukan antara pihak Republik dan Belanda adalah perjanjian Linggarjati. Namun, bukan Belanda jika tak bertindak culas, Gubernur Jendral H.J. van Mook secara sepihak menyatakan tidak mengakui perjanjian tersebut pada tanggal 20 Juli 1947. Belanda pun menggempur Republik Indonesia, serangan ini dikenal dengan sebutan Agresi Militer Belanda I yang berlangsung dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947.
Ihwal pertempuran heroik tersebut, dimulai dari saat 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya. Namun, Belanda rupanya tidak rela negeri yang kaya raya itu lepas dari genggaman tangan mereka. Belanda ingin kembali bercokol di Nusantara, maka berbagai macam cara ditempuh, baik perundingan maupun dengan persenjataan.
Salah satu perundingan yang usai proklamasi kemerdekaan yang dilakukan antara pihak Republik dan Belanda adalah perjanjian Linggarjati. Namun, bukan Belanda jika tak bertindak culas, Gubernur Jendral H.J. van Mook secara sepihak menyatakan tidak mengakui perjanjian tersebut pada tanggal 20 Juli 1947. Belanda pun menggempur Republik Indonesia, serangan ini dikenal dengan sebutan Agresi Militer Belanda I yang berlangsung dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947.
Agresi Militer Belanda I dengan
sandi "Operatie Product", bergerak di Jawa dan Sumatera berkedok Aksi
Polisionil yang bermaksud memulihkan keamanan namun sebenarnya adalah aksi
militer Belanda tanpa pernyataan perang yang resmi. Dasar licik, Belanda
rupanya sudah bersiap tiga bulan sebelum agresi yang
seharusnya masih dalam masa perjanjian.
Mereka bergerak dengan kekuatan penuh dari Jawa barat ingin menerobos ke seluruh front pertahanan Indonesia. Tujuan utamanya adalah ke Yogyakarta yang waktu itu menjadi pusat Pemerintahan Republik.
Mereka bergerak dengan kekuatan penuh dari Jawa barat ingin menerobos ke seluruh front pertahanan Indonesia. Tujuan utamanya adalah ke Yogyakarta yang waktu itu menjadi pusat Pemerintahan Republik.
Tentara Belanda dari Divisi
Panser yang berada di Tegal melaju ke Yogyakarta melalui jalan raya
Tegal, Bumiayu, Purwokerto. Namun, sesampainya di Prupuk,
mereka berhenti. Mata-mata Belanda mendapat informasi, bahwa pertahanan TNI
dari Divisi V Purwokerto cukup kuat yang dibawha komando langsung Jenderal
Soedirman.
Untuk menghindari perlawanan dari Divisi V Purwokerto itu Belanda menggunakan jalan alternatif kedua yaitu melalui jalur Purbalingga. Kebetulan dari informasi telik sandi dapat diketahui bahwa Batalyon TNI di Purbalingga pimpinan Mayor Marsidan sedang kosong sebab sedang mendapat tugas membantu pasukan Divisi Siliwangi di Jawa Barat.
Untuk menghindari perlawanan dari Divisi V Purwokerto itu Belanda menggunakan jalan alternatif kedua yaitu melalui jalur Purbalingga. Kebetulan dari informasi telik sandi dapat diketahui bahwa Batalyon TNI di Purbalingga pimpinan Mayor Marsidan sedang kosong sebab sedang mendapat tugas membantu pasukan Divisi Siliwangi di Jawa Barat.
Pasukan Belanda pun mengerahkan kekuatan penuh dengan kendaraan panser, mobil dan motor mengambil jalan melalui Slawi, Lebaksiu, terus ke jalan
simpang Desa Tuel menuju ke arah timur yaitu ke Pemalang, Belik, Karangreja sampai akhirnya
berhasil menduduki Bobotsari.
Kedatangan Belanda ke Purbalingga tentu saja tak luput dari radar tentara Republik. Mereka bahu membahu bersama rakyat membuat barikade di sepanjang jalan dengan menebangi pepohonan. Rintangan tersebut tak cukup menyulitkan Belanda, sehingga Kamis, 31 Juli 1947, tanggal 12 Ramadhan 1336 H, sebagian pasukan Belanda dari Bobotsari sudah berhasil memasuki Kota Purbalingga.
Kedatangan Belanda ke Purbalingga tentu saja tak luput dari radar tentara Republik. Mereka bahu membahu bersama rakyat membuat barikade di sepanjang jalan dengan menebangi pepohonan. Rintangan tersebut tak cukup menyulitkan Belanda, sehingga Kamis, 31 Juli 1947, tanggal 12 Ramadhan 1336 H, sebagian pasukan Belanda dari Bobotsari sudah berhasil memasuki Kota Purbalingga.
Purbalingga pun masuk dalam
posisi genting, maka Panglima Divisi V Purwokerto memerintahkan Bataliyon
Purbalingga yang sedang tugas di Jawa Barat untuk mempertahankan kampung
halamannya. Bataliyon Cilacap dibawah pimpinan Kapten Wongsoatmodjo pun
dikirim ke Belik, tugasnya menghadang dan mengadakan pencegatan untuk
memperlambat gerakan Pasukan Belanda.
Namun mereka kalah cepat dengan armada Belanda. Maka, pasukan langsung bergerak ke arah kota Purbalingga. Kebetulan, salah satu perwira resimen yang datang dari Cilacap, Kapten Hardojo adalah putra Purbalingga, putra dari Raden Sastro Sumarto, Kepala Sekolah Rakyat di Purbalingga.
Namun mereka kalah cepat dengan armada Belanda. Maka, pasukan langsung bergerak ke arah kota Purbalingga. Kebetulan, salah satu perwira resimen yang datang dari Cilacap, Kapten Hardojo adalah putra Purbalingga, putra dari Raden Sastro Sumarto, Kepala Sekolah Rakyat di Purbalingga.
Pasukan Kapten Hardojo datang ke
Purbalingga dengan menggunakan kereta api. Ketika sampai di Jompo, Belanda
sudah berhasil menduduki Purbalingga dan tengah menuju Purwokerto, sampai di Desa Sidakangen. Jarak mereka sudah dekat. Maka, kereta api
segera dihentikan di sekitar Sungai Jompo, para pejuang berhamburan.
Kapten Hardojo hanya punya waktu sangat singkat untuk bersiasat, Ia hanya memberikan komando tiap pejuang mencari posisi masing-masing yang strategis untuk menembak musuh. Tak lama kemudian, pertempuran pun pecah di sepanjang jalan yang masuk di wilayah Desa Jompo. Belanda jelas memiliki peralatan tempur lebih mumpuni dan juga lebih siap, namun pejuang kita meski dengan peralatan seadanya memiliki semangat tempur membara, maka pertempuran meluas sampai ke Desa Blater.
Kapten Hardojo hanya punya waktu sangat singkat untuk bersiasat, Ia hanya memberikan komando tiap pejuang mencari posisi masing-masing yang strategis untuk menembak musuh. Tak lama kemudian, pertempuran pun pecah di sepanjang jalan yang masuk di wilayah Desa Jompo. Belanda jelas memiliki peralatan tempur lebih mumpuni dan juga lebih siap, namun pejuang kita meski dengan peralatan seadanya memiliki semangat tempur membara, maka pertempuran meluas sampai ke Desa Blater.
Pasukan republik yang biasa
perang gerilya kesulitan karena medan pertempuran dengan kontur tanahnya
lapang, datar dan tidak banyak tempat untuk berlindung. Meski demikian, para
pejuang kemerdekaan memberikan perlawanan sengit sehingga laju pasukan Belanda
terhambat sehari penuh. Para pejuang menyerang dari arah barat jalan dengan
mengandalkan perlindungan berupa tebing-tebing pendek dan gerumbul pepohonan.
Sebagian sempat menyusup lebih ke utara, menyeberang parit Geting, lalu sungai
Ponggawa dan berlindung di parit yang cukup dalam di utara sungai Ponggawa, menyerang
Belanda dari belakang lalu lari mengendap ke arah barat.
Perlahan tapi pasti Belanda dengan
perlengkapan militer yang lebih mutakhir berhasil mendesak pasukan republik.
Melihat anak buahnya banyak yang berguguran, Kapten Hardojo pun akhirnya
mengambil keputusan untuk mundur. Menjelang sore, pasukan yang sebagian besar sedang
menjalankan ibadah puasa itu mundur teratur. Setelah matahari terbenam, Pasukan
Hardojo menuju ke arah barat, berlindung di gerumbul Dukuh Karangso. Malam
tiba, kontak senjata berhenti dan Belanda pun memilih untuk melanjutkan
perjalanan menuju Purwokerto.
Korban jatuh di kedua belah
pihak. Untuk, di pihak Belanda tak diketahui jumlah yang tewas sementara pihak republik, pejuang dan rakyat yang gugur sebanyak 28 orang. Jenazah mereka dikebumikan di pemakaman Desa Blater dan Sidakangen, bahkan ada yang dikubur di tepi jalan Desa Blater. Sebagai bentuk penghormatan, makamnya sudah dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Purbosaroyo.
Kemudian, untuk mengenang
pertempuran tersebut, pada tahun 1960 di sekitar kuburan para pejuang ini
didirikan sebuah monumen, sebuah tugu untuk mengenang kepahlawanan mereka
bernama Toegoe Joeang Blater itu. Monumen tersebut diresmikan pada 17 Agustus
1960.
Ilustrasi Pejuang Kemerdekaan RI (GNFI) |
Merdeka atau Mati!
Sebagai generasi penerus, mari kita hayati pesan yang ada pada tugu tersebut : Wasita Suci Kusuma Negara, yang artinya kurang lebih teladan yang luhur dari para pejuang yang gugur sebagai kusuma bangsa
Sumber Rujukan :
Buku 'Darah Gerilyawan : Jejak
Perjuangan Rakyat Purbalingga Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan 1942-1949' yang diterbitkan Purbadi Publishing (2018) karya Alm. Bapak Tri
Atmo
Buku 'Pertempuran Blater : Sejarah Lokal dalam Pusaran Sejarah Nasional' karya Mas Ganda Kurniawan, dkk.
Buku 'Pertempuran Blater : Sejarah Lokal dalam Pusaran Sejarah Nasional' karya Mas Ganda Kurniawan, dkk.
Artikel Blog Bapak Toto Endargo yang bisa dibaca disini
4 Responses to "Battle of Blater, Perjuangan Rakyat Purbalingga Mempertahankan NKRI"
Mantap sekali gan, saya bangga jadi orang purbalingga
Mantul bnget saya bangga jadi anak purbalingga
Lanjutkan 💪👍
💪💪👍👍👍☕
Post a Comment