Situs Kedungbenda : Bukti Sejarah Dua Peradaban dan Legenda 'Penis' Drona
"Seri Sejarah Purbalingga"
Situs Cagar Budaya Lingga-Yoni, Kedungbenda, Kemangkon |
Situs Cagar Budaya ini adalah salah satu bukti lagi bahwa
Purbalingga merupakan daerah yang kaya akan sejarah. Tak hanya satu, ada beberapa artefak yang ditemukan di situs yang terletak
di Desa Kedungbenda, Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga.
Nah, yang menariknya lagi, artefak-artefak yang ditemukan mewakili dua masa peradaban sekaligus, yaitu, era megalitikum dan Hindu. Ada juga kisah legenda unik tentang salah satu artefak yang bekaitan dengan salah satu tokoh dalam epos Mahabarata, yaitu, Pandhita / Resi / Panembahan Drona.
Nah, yang menariknya lagi, artefak-artefak yang ditemukan mewakili dua masa peradaban sekaligus, yaitu, era megalitikum dan Hindu. Ada juga kisah legenda unik tentang salah satu artefak yang bekaitan dengan salah satu tokoh dalam epos Mahabarata, yaitu, Pandhita / Resi / Panembahan Drona.
Saya berkesempatan mencermati situs yang mencolok dengan
tetenger pohon beringin rindang itu akhir pekan ini. Situs yang oleh masyarakat setempat disebut juga dengan Kampung 'Panembahan Drona' itu terletak
di pinggir jalan raya Desa Bokol-Kedungbenda.
Kondisinya cukup terawat. Ada papan nama yang dibuat oleh pemerintah daerah setempat yang menyebutkan bahwa situs tersbut sudah masuk dalam Benda Cagar Budaya. Areanya juga sudah dipasang paving blok dan area utamanya diberikan pagar keliling.
Situs itu rupanya juga masih menjadi tempat pemujaan bagi warga yang meyakini. Saat saya kesana, ada bekas pembakaran dupa dan bunga sesajen di sekitarnya.
Kondisinya cukup terawat. Ada papan nama yang dibuat oleh pemerintah daerah setempat yang menyebutkan bahwa situs tersbut sudah masuk dalam Benda Cagar Budaya. Areanya juga sudah dipasang paving blok dan area utamanya diberikan pagar keliling.
Situs itu rupanya juga masih menjadi tempat pemujaan bagi warga yang meyakini. Saat saya kesana, ada bekas pembakaran dupa dan bunga sesajen di sekitarnya.
Pada Situs Kedungbenda setidaknya ditemukan 4
jenis benda yang masuk kategori benda cagar budaya. Ada phallus batu, yoni dan dua buah batu lingga yang ada dalam area
berpagar. Kemudian, sebuah batu lumpang yang terletak di luar pagar namun masih
dalam satu kompleks.
Beberapa benda itu diperkirakan berasa dari era yang berbeda. Phallus merupakan bentuk lebih muda dari menhir yang masih merupakan ciri kebudayaan megalitik, juga batu lumpang. Sementara lingga-yoni merupakan ciri kebudayaan Hindu.
Beberapa benda itu diperkirakan berasa dari era yang berbeda. Phallus merupakan bentuk lebih muda dari menhir yang masih merupakan ciri kebudayaan megalitik, juga batu lumpang. Sementara lingga-yoni merupakan ciri kebudayaan Hindu.
Ada kesamaan antara benda-benda tersebut. Phallus dan Batu Lumpang – Lingga dan Yoni
sama-sama merupakan perpaduan simbol kesuburan. Phallus dan Lingga mewakili laki-laki, Batu Lumpang dan Yoni
mewakili perempuan (vulva).
Artefak phallus di Situs Kedungbenda itu berbentuk batu
sepanjang kurang lebih 90 cm dalam posisi tertidur/roboh. Padahal, pada umumnya Phallus yang merupakan simbol laki-laki biasanya posisinya
tegak berdiri sehingga diperkirakan benda itu sudah
tidak pada posisi aslinya. Kemungkinanya roboh atau bisa juga sudah berpindah tempat.
Sementara, Batu Lumpang terletak di luar pagar meski tak jauh dari phallus. Seluruh badanya berada di atas permukaan tanah. Batu dengan penampang atas berbentuk persegi panjang tidak teratur itu memiliki lubang berbentuk lingkaran berdiameter sekitar 10 cm.
Sementara, Batu Lumpang terletak di luar pagar meski tak jauh dari phallus. Seluruh badanya berada di atas permukaan tanah. Batu dengan penampang atas berbentuk persegi panjang tidak teratur itu memiliki lubang berbentuk lingkaran berdiameter sekitar 10 cm.
Kemudian, yoni ditemukan masih relatif dalam keadaan utuh meski ada
sebagian badannya tertanam dalam tanah.
Bagian atas yoni terdapat lubang berbentuk persegi yang terisi air. Kemudian ada guratan sepanjang satu penggaris pada benda
yang terbuat dari batu andesit itu. Tampaknya ada relief
dibawah yoni, namun sudah aus sehingga tak jelas apa bentuknya.
Sementara, dua buah lingga ditemukan dalam posisi berdiri dengan sebagian badannya tertanam dalam tanah berjarak kurang dari 1 meter dengan yoni. Lingga yang pertama berdiameter setengah penggaris dan tinggi dari permukaan tanah satu penggaris. Kemudian lingga yang kedua lebih besar diameternya sedikit dengan tinggi sekira dua pertiga penggaris.
Sementara, dua buah lingga ditemukan dalam posisi berdiri dengan sebagian badannya tertanam dalam tanah berjarak kurang dari 1 meter dengan yoni. Lingga yang pertama berdiameter setengah penggaris dan tinggi dari permukaan tanah satu penggaris. Kemudian lingga yang kedua lebih besar diameternya sedikit dengan tinggi sekira dua pertiga penggaris.
Phalus - Lumpang : Simbol Kesuburan Era Megalitikum
Sebagaimana disebutkan dalam Sistem Registrasi Nasional
Cagar Budaya Kemendikbud, phallus
batu yang ada di Situs Kedungbenda
merupakan warisan tradisi megalitik yang sejenis dengan menhir. Biasanya kedua benda ini
digunakan sebagai sarana pemujaan atau
hal-hal yang bersifat sakral. Menhir bentuknya masih berupa batu pipih seperti yang
ditemukan di Situs Pamujan Desa Dagan, Bobotsari.
Sementara phallus sudah berbentuk silindris dan menyerupai bentuk alat kelamin laki-laki. Jadi bisa dibilang phallus adalah bentuk lebih modern dari menhir. Simbolisasi genital ini memiliki asal usul yang sifatnya analogis, khususnya bagi masyarakat agraris dalam masa prasejarah itu.
Mereka meyakini bumi ini adalah wanita atau ibu pertiwi,
sementara langit adalah laki-laki. Tradisi megalitik ini
mulai membuat simbol yang memiliki unsur laki-laki yakni dengan membuat phallus batu ini. Phallus
juga dianggap memiliki kekuatan tertentu sehingga kerap dikaitkan upaya
mengusir roh jahat atau tolak bala, ada anggapan roh jahat akan takut jika
melihat phallus sehingga tidak akan
berani mengganggu. Cara penggunaanya adalah sebagai media pemujaan yang
melambangkan keperkasaan.
Arkelog Ketut Wiradyana dalam jurnalnya yang berjudul Fungsi Alat Reproduksi Manusia dalam Konsep
Binary Opposition dan Simbol, menyatakan
makna dan fungsi dari benda atau pahatan berbentuk alat kelamin pria (phallus) memiliki arti diantaranya,
yaitu, simbol kesuburan manusia dan kesuburan
tanaman, sarana untuk mengusir hama, roh jahat dan musibah serta
simbol identitas diri (laki-laki), simbol kekuasaan abstrak dan tempat meminta keselamatan
bagi hewan peliharaan.
Sementara Batu Lumpang merupakan pasangan phallus. Ia merupakan simbol kesuburan
wanita (vulva). Pertemuan keduanya
akan menghasilkan keturunan yang merupakan kesuburan. Pada masyarakat
prasejarah, datangnya hujan adalah manifestasi dari
keluarnya “cairan” (sperma) dari phallus
yang jatuh membasahi ibu pertiwi (vulva). Hujan dari langit dan pertemuanya dengan bumi
akan membawa keturunan yang berbentuk kesuburan
bagi mereka.
Untuk batu lumpang yang ditemukan di Situs Kedungbenda masih terdapat perbedaan
pendapat mengenai fungsinya. Sebab, selain memiliki
fungsi sakral yang berhubungan
erat dengan hal yang bersifat magis religious melalui simbolisasi ibu pertiwi, batu lumpang juga bisa punya fungsi yang erat dengan kebutuhan
sehari-hari. Misalnya, tempat
untuk menumbuk biji-bijian seperti padi atau
obat-obatan dan sebagai batu umpak (alas tiang) yang kemudian dimasukkan tiang kayu untuk
menopang bangunan.
Menurut Ketut Wiradnyana, batu lumpang jenis ini dicirikan dengan lebih dari satu lubang lumpang serta intensitas penggunaan lumpang yang tinggi terlihat pada tingkat keausan lubang. Batu Lumpang yang memiliki nilai profan biasanya juga tidak ditemukan dengan pasanganya, phallus. Nah, Batu Lumpang di Situs Kedungbenda ditemukan bersamaan dengan phallus sehingga diperkirakan memiliki fungsi yang lebih bersifat sakral.
Menurut Ketut Wiradnyana, batu lumpang jenis ini dicirikan dengan lebih dari satu lubang lumpang serta intensitas penggunaan lumpang yang tinggi terlihat pada tingkat keausan lubang. Batu Lumpang yang memiliki nilai profan biasanya juga tidak ditemukan dengan pasanganya, phallus. Nah, Batu Lumpang di Situs Kedungbenda ditemukan bersamaan dengan phallus sehingga diperkirakan memiliki fungsi yang lebih bersifat sakral.
Lingga-Yoni : Lambang Kesuburan Peradaban Hindu-Budha
Lingga-Yoni merupakan simbol yang berkaitan erat dengan
kebudayaan Hindu yang mendominasi Tanah Jawa pada abad 4-15 Masehi. Menurut
wikipedia, Lingga adalah
sebuah arca atau patung,
yang merupakan sebuah objek pemujaan atau sembahyang umat Hindu. Kata lingga ini biasanya singkatan daripada Siwalingga dan merupakan sebuah objek tegak, tinggi yang melambangkan Dewa Siwa.
Sementara Yoni
dalam bahasa sansekerta mempunyai
arti bagian/tempat (kandungan) untuk melahirkan. Kata ini mempunyai banyak
arti, di antaranya adalah sumber, asal, sarang, rumah, tempat duduk,
kandang, tempat istirahat tempat penampungan air, dan lain-lain. Yoni berarti
pasangan lingga yang
merupakan simbol dari alat kelamin wanita. Lingga-Yoni
bisa dinterpetasikan lambang kemaluan laki-laki (phallus) dengan lambang
kemaluan perempuan (vulva) yang keduanya merepresentasikan kesuburan. Yoni
merupakan simbol dari Dewi Parvati istri dari Dewa Siwa. Yoni adalah tumpuan
bagi lingga atau arca.
Lingga bisa dibisebut sebagai bentuk lebih modern dari phallus. Sedangkan Yoni merupakan perkembangan dari Batu Lumpang. Baik
masyarakat prasejarah maupun kebudayaan Hindu sama-sama meyakini bahwa keduanya
merupakan simbol kesuburan.
Perkembangan Phallus-Lumpang menjadi Lingga-Yoni
Jika Phallus hanya sekedar batu lonjong, Lingga sudah berkembang dengan silinder yang simetris. Bagian bahahnya pun sudah mengalami pahatan sedemikan rupa.
Sedangkan yoni berkembang dari hanya sekedar batu lumpang menjadi batu berdenah bujur sangkar dan ada tonjolan di salah satu sisinya (cerat). Permukaan yoni tidak rata dengan bagian tepi lebih tinggi yang berfungsi agar air tidak keluar apabila di siram dan hanya akan keluar melalui cerat. Pada bagian bawah tubuh yoni / penyangga terdapat hiasan dan pahatan ornamen yang biasanya berbentuk hewan.
Jika Phallus hanya sekedar batu lonjong, Lingga sudah berkembang dengan silinder yang simetris. Bagian bahahnya pun sudah mengalami pahatan sedemikan rupa.
Sedangkan yoni berkembang dari hanya sekedar batu lumpang menjadi batu berdenah bujur sangkar dan ada tonjolan di salah satu sisinya (cerat). Permukaan yoni tidak rata dengan bagian tepi lebih tinggi yang berfungsi agar air tidak keluar apabila di siram dan hanya akan keluar melalui cerat. Pada bagian bawah tubuh yoni / penyangga terdapat hiasan dan pahatan ornamen yang biasanya berbentuk hewan.
Bersatunya Lingga dan Yoni adalah pertemuan antara
laki-laki (Purusa) dan wanita (Pradhana) yang merupakan lambang kesuburan,
sehingga muncul kehidupan baru (kelahiran). Oleh sebab itu pemujaan akan lingga
dan yoni yang merupakan bersatunya Dewa Siwa dan Dewi Parvati adalah suatu
berkah bagi masyarakat masa lampau, sehingga biasanya lingga-yoni ini
diletakkan di wilayah pertanian atau pemujaan para petani kala itu.
Jadi, bisa dibilang meski berbeda masa dan bentuk, benda cagar
budaya yang ditemukan di Situs Kedungebda masih satu tipe dan satu tujuan. Baik
phallus dan batu lumpang serta lingga dan yoni sama-sama merupakan media
magis-religius untuk mengharapkan limpahan kesuburan.
Antara Phallus dan 'Penis' Pandhita Drona
Kok bisa penis Pandhita Drona jadi batu di Kedungbenda?
Begini ceritanya...
Ahai.. unik ya luur.. serr
Cerita sejarah benda cagar budaya itu, ditambah dengan kisah kemaluan Resi Drona yang dipotong serta keindahan Congot menjadikan Kedungbenda menjadi salah satu destinasi wisata yang layak dikunjungi di Kabupaten Purbalingga.
Antara Phallus dan 'Penis' Pandhita Drona
Ada sebuah kisah legenda menarik yang berkembang di masyarakat setempat mengenai batu phallus ini. Jadi, batu itu konon merupakan penjelmaan dari alat vital Pandita Drona. Kisahnya berkaitan erat dengan epos Mahabarata yang dimodifikasi di Tanah Jawa.
Tokoh Drona dalam Mangga (Dok : giztimes.com) |
Begini ceritanya...
Sudah jadi hal yang diketahui umum bahwa Pandhawa dan Kurawa adalah seteru abadi. Mereka bersaing dan bermusuhan dalam semua hal. Suatu hari, mereka berlomba membuat sungai yang membelah Pulau Jawa sampai ke lautan. Tim Pandawa dipimpin oleh Bima, sementara Kontingen Kurawa dipimpin oleh Pandhita Drona. Taruhannya tak main-main, yang kalah harus bersiap dipenggal lehernya.
Kedua tim pun bersiap membuat sungai. Pandawa mengawali dari Pegunungan Dieng, Bima dengan kesaktiannya membuat mata air disana yang sekarang dikenal dengan ‘Tuk Bima Lukar’. Kemudian, Kurawa mengawali pembuatan sungai dari Pegunungan Slamet. Mereka beradu cepat membuat sungai untuk sampai di laut lebih dulu.
Dikisahkan sesampainya di suatu tempat, Bima menggelar tikar untuk istirahat makan. Namun belum sempat memakan bekal yang sudah disiapkan terdengar sorak-sorai Korawa yang merasa yakin akan memenangkan lomba. Akhirnya Bima batal istirahat. Tempat untuk menggelar tikar selanjutnya disebut ‘Gelaran’.
Bima kemudian memandang (nyawang) ke arah selatan dan tampak (katon) Bala Kurawa sedang berpesta merayakan kemenangan mereka. Tempat untuk ‘nyawang’ itu selanjutnya disebut Sawangan dan tempat Kurawa sedang berpesta disebut ‘Somakaton’ (berasal dari kata 'kusuma wus katon'). Gelaran, Sawangan dan Somakaton kini menjadi nama desa yang ada di wilayah Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas.
Bima kemudian memandang (nyawang) ke arah selatan dan tampak (katon) Bala Kurawa sedang berpesta merayakan kemenangan mereka. Tempat untuk ‘nyawang’ itu selanjutnya disebut Sawangan dan tempat Kurawa sedang berpesta disebut ‘Somakaton’ (berasal dari kata 'kusuma wus katon'). Gelaran, Sawangan dan Somakaton kini menjadi nama desa yang ada di wilayah Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas.
Khawatir mengalami kekalahan, maka Bima segera mempercepat kerjanya. Semua daya upaya dikerahkan dengan hasil akhirnya, Pandhawa memenangkan perlombaan. Kurawa kalah dan konsekuensinya Pandhita Drona sebagai pimpinan Kontingen Kurawa harus dipenggal lehernya.
Namun, Bima tak tega karena Pandhita Drona pernah menjadi gurunya. Akan tetapi, hukuman tetap harus diberikan sehingga Pandhita dari Sokalima itu ‘diringankan’ hukumannya dengan cara dipotong penisnya dan kemudian dibuang. Penis itulah yang kemudian menjadi menjelma menjadi batu atau phallus itu.
Oleh karena itulah masyarakat setempat menyebut areal Situs Kedungbenda tempat ditemukan phallus yang dianggap penjelmaan penis Drona sebagai Panembahan Drona.
Namun, Bima tak tega karena Pandhita Drona pernah menjadi gurunya. Akan tetapi, hukuman tetap harus diberikan sehingga Pandhita dari Sokalima itu ‘diringankan’ hukumannya dengan cara dipotong penisnya dan kemudian dibuang. Penis itulah yang kemudian menjadi menjelma menjadi batu atau phallus itu.
Oleh karena itulah masyarakat setempat menyebut areal Situs Kedungbenda tempat ditemukan phallus yang dianggap penjelmaan penis Drona sebagai Panembahan Drona.
Ngemeng-ngemeng, kalau tititnya panjangnya sampai satu meter dengan diameter sampai hampir sepenggaris anak SD, Si Pandhita Drona badannya seberapa gede ya? Terus, kalau punya Drona saja segede itu apalagi Bima yang dikenal berbadan raksasa ya.. Hihihi..
Kemudian, sungai yang dibuat oleh Padhawa menjadi Sungai Serayu, sementara yang dibuat Kurawa menjadi Sungai Klawing. Pertemuan antara kedua sungai tersebut ada di Desa Kedungbenda yang disebut dengan Congot.
Kemudian, sungai yang dibuat oleh Padhawa menjadi Sungai Serayu, sementara yang dibuat Kurawa menjadi Sungai Klawing. Pertemuan antara kedua sungai tersebut ada di Desa Kedungbenda yang disebut dengan Congot.
Cerita sejarah benda cagar budaya itu, ditambah dengan kisah kemaluan Resi Drona yang dipotong serta keindahan Congot menjadikan Kedungbenda menjadi salah satu destinasi wisata yang layak dikunjungi di Kabupaten Purbalingga.
Pemandangan di Sekitar Congot, Desa Kedungbenda (Dok.Pribadi) |
Keterangan :
Tulisan diolah dari berbagai sumber, diantaranya Journal Arkeolog Ketut Wiradnyana. Fungsi Alat Reproduksi Manusia dalam Konsep Binary Opposition dan Simbol, artikel mengenai Legenda Congot yang bisa dibaca disini dan cerita lisan yang berkembang di masyarakat.
1 Response to "Situs Kedungbenda : Bukti Sejarah Dua Peradaban dan Legenda 'Penis' Drona"
Post a Comment