Tragedi Cinta dan Terbagi Empatnya Kadipaten Wirasaba
Tragedi Adipati Wirasaba (Dok : bintang999.wordpress.com) |
Cinta memang salah satu sumber kebahagiaaan, namun tak jarang menjadi pemantik malapetaka. Tragedi yang diakibatkan dari kisah cinta Putri Adipati Wirasaba ini bisa menjadi kaca benggala bagi kita, sebuah cinta yang bisa menjadi bencana.
Alkisah, dua anak manusia yang masih belum mengerti
apa itu cinta dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Adalah Rara Sukartiyah, putri
Adipati Wargautama orang nomor satu di Kadipaten Wirasaba dijodohkan dengan
Bagus Sukra, anak Ki Gede Banyureka, Demang Toyareka. Sebab masih abege, Rara dan
Bagus masih tinggal dengan orang tua masing-masing.
Saat dirasa sudah cukup umur, mereka kemudian dipersatukan.
Namun, apa mau dikata, rumah tangga kedua pasangan belia itu tiada kecocokan. Adagium
‘witing tresno jalaran soko kulino’ tak berlaku bagi mereka, sudah
dikulino-kulinokan tetap saja tak tumbuh tresno.
Mereka bertolak belakang. Dek Rara rupanya masih terlalu hijau untuk menyadari apa itu cinta. Lugu dia. Sementara Mas Bagus jatuh dalam kubangan cinta.
Mereka bertolak belakang. Dek Rara rupanya masih terlalu hijau untuk menyadari apa itu cinta. Lugu dia. Sementara Mas Bagus jatuh dalam kubangan cinta.
Sebab tiada cinta, Rara tidak bersedia melakukan kewajibannya
sebagai seorang istri. Ia malah meminta untuk diceraikan. Bagus pun kemudian
terpaksa memenuhi keinginan istrinya dan pulang ke rumah orang tuanya di
Toyareka.
Mahligai rumah tangga mereka berakhir sudah. Rara menjadi janda muda. Namun, bukan janda biasa gaes. Rara adalah janda spesial yang disebut dengan ‘Randa Kabla’, yaitu janda yang masih perawan.
Mahligai rumah tangga mereka berakhir sudah. Rara menjadi janda muda. Namun, bukan janda biasa gaes. Rara adalah janda spesial yang disebut dengan ‘Randa Kabla’, yaitu janda yang masih perawan.
Sebagai seorang ayah, kepulangan puteranya yang
hatinya remuk redam setelah perkawinannya berakhir paksa tentu saja membuat
hati Ki Gede Banyureka masygul. Apapun alasannya, harga diri Sang Demang merasa
terinjak-injak. Bagus juga sakit hati bukan kepalang, cintanya sudah berubah
menjadi benci ditingkahi dendam.
Namun, mereka tak berani macam-macam apalagi sampai mengajukan protes, sebab Adipati Wargautama adalah orang paling berkuasa di Kadipaten Wirasaba. Sang Demang dan puteranya pun hanya bisa memendam rasa dendam yang bersarang di hati mereka.
Namun, mereka tak berani macam-macam apalagi sampai mengajukan protes, sebab Adipati Wargautama adalah orang paling berkuasa di Kadipaten Wirasaba. Sang Demang dan puteranya pun hanya bisa memendam rasa dendam yang bersarang di hati mereka.
Terjadinya Tragedi
Tahun berganti. Suatu saat, ada pengumuman permintaan upeti dari Sultan Pajang kepada kadipaten-kadipaten bawahannya sebagai tanda kesetiaan. Tak tanggung-tanggung, upeti yang diminta sang sultan adalah seorang gadis suci yang akan dipersunting menjadi pelara-lara atau selirnya.
Tahun berganti. Suatu saat, ada pengumuman permintaan upeti dari Sultan Pajang kepada kadipaten-kadipaten bawahannya sebagai tanda kesetiaan. Tak tanggung-tanggung, upeti yang diminta sang sultan adalah seorang gadis suci yang akan dipersunting menjadi pelara-lara atau selirnya.
Kadipaten Wirasaba diperkirakan berdiri pada abad ke XIV, era Majapahit. Setelah imperium Majapahit runtuh, Wirasaba tetap menginduk kepada penerusnya, yaitu, Kesultanan Demak Bintoro. Saat Demak runtuh dan beralih ke Kesultanan Pajang yang dipimpin Jaka Tingkir alias Sultan Hadiwijaya, Kadipaten Wirasaba masih ikut menjadi wilayah bawahannya.
Singkat cerita, Adipati Wargautama memutuskan untuk mempersembahkan
Rara Sukartiyah kepada Baginda Sultan sebagai upeti. Ia berangkat pada hari
Sabtu Pahing mengantar anaknya sendiri ke Pisowanan Agung di Pajang dan dengan
bangga mengatakan kepada sultan bahwa puterinya itu masih dalam keadaan suci.
Mbak Rara pun tak keberatan menjadi selir Jaka Tingkir yang terkenal gagah dan sakti mandraguna. Udah ganteng, sultan, sakti lagi...
Mbak Rara pun tak keberatan menjadi selir Jaka Tingkir yang terkenal gagah dan sakti mandraguna. Udah ganteng, sultan, sakti lagi...
Ahai.. serr...
Sosok Jaka Tingkir dalam Sebuah Sinetron (www.yukepo.com) |
Peristiwa itu rupanya tak luput dari radar Ki Gede
Banyureka. Ia merasa, itulah kesempatan baik untuk menuntut balas ke bekas besannya
itu. Ki Gede Banyureka dan Bagus Sukra pun berangkat ke Pajang dan menghadap
ke sultan sesaat setelah Adipati Wargautama undur diri. Keduanya mengatakan bahwa
Rara Sukartiyah yang baru saja dihaturkan itu adalah bekas isteri Bagus Sukra
yang tentu saja statusnya janda, bukannya perawan suci.
Jaka Tingkir murka luar biasa mendengar laporan itu.
Ia merasa ditipu dan dihina oleh Adipati Wargautama, bawahannya. Enak aje loe, sultan dikasih jande... Tanpa pikir panjang, tanpa
klarifikasi, Ia langsung menitahkan ‘gandhek’ (prajurit khusus pengawal sultan)
agar memburu dan membunuh adipati yang dianggapnya sudah kurangajar itu.
Sementara, Ki Banyureka dan anaknya mohon diri, setelah melihat hasutannya berhasil. Dendam mereka terbayar lunas.
Sementara, Ki Banyureka dan anaknya mohon diri, setelah melihat hasutannya berhasil. Dendam mereka terbayar lunas.
Setelah mereka berdua pergi, sultan baru terpikir
untuk klarifikasi, maka dipanggilah Rara
Sukartiyah untuk dimintai keterangan. Putri Adipati Wirasaba nan jelita itu
menjelaskan dan mengakui bahwa dirinya memang pernah menjadi isteri Bagus
Sukra, namun dirinya masih suci karena belum pernah melakukan kewajiban sebagai
seorang isteri.
Sang Sultan terhenyak. Ia menyadari bahwa keputusan sungguh keliru dan diambil dengan sangat grusa-grusu. Segera diperintahkan lagi gandhek agar menyusul dan membatalkan hukuman mati yang sudah dititahkan.
Sang Sultan terhenyak. Ia menyadari bahwa keputusan sungguh keliru dan diambil dengan sangat grusa-grusu. Segera diperintahkan lagi gandhek agar menyusul dan membatalkan hukuman mati yang sudah dititahkan.
Sementara itu, sesudah sowan ke sultan, Adipati
Wirasaba mampir ke kediaman Lurah Bener, sahabat lamanya untuk beristirahat. Ki
Lurah Bener yang memiliki ‘rumah tusuk sate’ menjamu Sang Adipati dengan
hidangan nasi dan lauk pindang daging angsa / banyak.
Desa Bener saat ini di Kecamatan Lowano, Purworejo
Saat asyik bersantap, tibalah gandhek utusan Sultan Pajang yang dititahkan untuk membunuhnya. Gandhek Sang Sultan itu merupakan prajurit pilih tanding, tanpa banyak cingcong langsung bersiap dengan keris terhunus. Adipati Warga Utama tentu saja kaget dengan kejadian itu dan mereka terlibat adu mulut.
Saat Sang Gandhek dan Adipati berdebat, datanglah
prajutit kedua yang menyusul tergesa sembari berteriak-teriak dan melambaikan tangan dari atas kuda. Prajurit pertama yang siap membunuh menoleh kearah datangnya suara itu,
terlihat rekannya yang melambaikan tangan. Isyarat itu ditangkapnya sebagai tanda
untuk segera mengeksekusi, maka tanpa ba bi bu dibenamkanlah keris ke dada Sang Adipati.
Adipati Wargautama tersungkur berlumuran darah. Orang nomor satu di Kadipaten Wirasaba itu pun meninggal dunia. Sesaat
sebelum menemui ajalnya, Ia sempat memberi pesan kepada orang-orang Wirasaba
dan anak turunannya. Pesan itu berupa larangan alias ipat-ipat. Ada 5 hal pesan Sang Adipati.
Pertama, janganlah bepergian di hari Sabtu Pahing, hari di saat Ia berangkat ke Pajang mengantar anaknya. Kedua, jangan makan pindang daging angsa/banyak seperti hidangan Ki Lurah Bener di hari kemalangannya. Ketiga, jangan menempati rumah tusuk sate seperti tempat kejadian perkara. Keempat, jangan menaiki kuda berwarna bulu dawuk bang seperti tunggangannya saat hari naas itu. Kelima, adipati juga berpesan agar orang-orang Wirasaba tidak dikawinkan dengan orang Toyareka keturunan Ki Gede Banyureka yang telah memfitnahnya.
Pertama, janganlah bepergian di hari Sabtu Pahing, hari di saat Ia berangkat ke Pajang mengantar anaknya. Kedua, jangan makan pindang daging angsa/banyak seperti hidangan Ki Lurah Bener di hari kemalangannya. Ketiga, jangan menempati rumah tusuk sate seperti tempat kejadian perkara. Keempat, jangan menaiki kuda berwarna bulu dawuk bang seperti tunggangannya saat hari naas itu. Kelima, adipati juga berpesan agar orang-orang Wirasaba tidak dikawinkan dengan orang Toyareka keturunan Ki Gede Banyureka yang telah memfitnahnya.
Sepeminuman teh kemudian, kedua Gandhek kiriman Jaka Tingkir bertemu, mereka saling pandang setelah menyadari kesalahpahaman yang terjadi. Akan tetapi nasi sudah menjadi bubur. Adipati Wargautama sudah meninggal dan peristiwa tidak mungkin diputar kembali. Mereka pun kembali ke Pajang untuk
melaporkan kejadian tersebut.
Wirasaba Dibagi Empat
Setelah menerima laporan Gandheknya, Sultan Hadiwijaya yang merasa bersalah. Ia pun kemudian memanggil anak keturunan Adipati Wargautama untuk meminta maaf. Namun, tidak ada yang berani menghadap ke Pajang lantaran takut mengalami nasib serupa dengan ayahandanya.
Keturunan Adipati Wargautama ada lima, Raden Ayu Kartimah (dinikahi Jaka Kaiman), Ngabehi Wargawijaya, Ngabehi Wirakusuma, Ngabehi Wirayuda, dan Si Bungsu Rara Sukartiyah yang dipersembahkan menjadi selir Sultan Pajang.
Wirasaba Dibagi Empat
Setelah menerima laporan Gandheknya, Sultan Hadiwijaya yang merasa bersalah. Ia pun kemudian memanggil anak keturunan Adipati Wargautama untuk meminta maaf. Namun, tidak ada yang berani menghadap ke Pajang lantaran takut mengalami nasib serupa dengan ayahandanya.
Keturunan Adipati Wargautama ada lima, Raden Ayu Kartimah (dinikahi Jaka Kaiman), Ngabehi Wargawijaya, Ngabehi Wirakusuma, Ngabehi Wirayuda, dan Si Bungsu Rara Sukartiyah yang dipersembahkan menjadi selir Sultan Pajang.
Akhirnya, Jaka Kaiman lah yang memberanikan diri mewakili saudara-saudaranya menghadap
sultan. Ternyata bukan teguran atau hukuman yang ditakutkan saudara-saudaranya,
namun penobatan penggantian kekuasan. Sebab, Jaka Kaiman yang berani datang, Ia lah yang diberi kepercayaan oleh Sultan Hadiwijaya untuk
menggantikan ayah mertuanya menjadi Adipati Wirasaba dengan gelar Adipati
Wargautama II.
Jaka Kaiman Menghadap Sultan Hadiwijaya (Dok : seputarpurbalingga.blogspot.com) |
Jaka Kaiman, tadinya merupakan abdi dalem yang kemudian diangkat menantu oleh Adipati Wargautama setelah tahu bahwa Ia bukanlah abdi dalem biasa, akan tetapi masih keturunan Raden Haryo Baribin, cucu Prabu Brawijaya, raja terakhir Majapahit.
Namun, Jaka Kaiman tahu diri dan tak
mau rakus menguasai Kadipaten Wirasaba, Ia sadar hanyalah anak menantu dan
sudah diberi kemuliaan di Wirasaba. Oleh karena itu , Ia tak enak hati sehingga
kemudian meminta izin Sultan Pajang untuk berbagi kekuasaan dengan semua saudaranya. Akhirnya, pada 1571, Jaka Kaiman membagi Kadipaten Wisaraba menjadi empat wilayah.
Wilayah Wirasaba diberikan kepada Ngabehi Wargawijaya yang tetap menjadi Kadipaten Wirasaba dan kemudian hari masuk di Kadipaten Purbalingga. Wilayah Merden diberikan kepada Ngabehi Wirakusuma menjadi yang menjadi cikal bakal Kadipaten Cilacap. Wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Ngabehi Wirayuda yang berkembang menjadi Kadipaten Banjarnegara. Ia sendiri memilih untuk memimpin Wilayah Kejawar, asal orang tua angkatnya yang kemudian hari berkembang menjadi Kadipaten Banyumas.
Wilayah Wirasaba diberikan kepada Ngabehi Wargawijaya yang tetap menjadi Kadipaten Wirasaba dan kemudian hari masuk di Kadipaten Purbalingga. Wilayah Merden diberikan kepada Ngabehi Wirakusuma menjadi yang menjadi cikal bakal Kadipaten Cilacap. Wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Ngabehi Wirayuda yang berkembang menjadi Kadipaten Banjarnegara. Ia sendiri memilih untuk memimpin Wilayah Kejawar, asal orang tua angkatnya yang kemudian hari berkembang menjadi Kadipaten Banyumas.
Akhirnya, Wirasaba pun terbagi menjadi
empat wilayah kekuasaan yang kini semuanya berada di eks Karesidenan Banyumas.
Raden Jaka Kaiman pun dikenal dengan sebutan Adipati Mrapat karena Ia ‘mara
papat’ alias membagi empat Kadipaten Wirasaba.
Jadi, bisa dibilang Wirasaba itulah
cikal bakal Banyumas, Cilacap, Banjarnegara dan Purbalingga. Kini, Wirasaba menjadi sebuah desa yang ada di Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga. Desa itu mencuat karena
akan saat ini tengah dibangun sebuah Bandara Jenderal Besar Soedirman yang akan menjadi pintu
gerbang bagi kabupaten di wilayah eks Karesidenan Banyumas.
Sepertinya sejarah kembali berulang ke akarnya...
Catatan :
Sepertinya sejarah kembali berulang ke akarnya...
Makam Adipati Wirasaba di Desa Pekiringan, Klampok, Banjarnegara (Dok : elgan.blogspot.com) |
Cerita diatas sudah sedikit dimodifikasi dengan sumber
utama dari Buku Babad dan Sejarah Purbalingga karangan Tri Atmo yang
diterbitkan Pemerintah Kabupaten Purbalingga Tahun 1984, ditambah wikipedia dan
cerita-cerita lisan.
7 Responses to "Tragedi Cinta dan Terbagi Empatnya Kadipaten Wirasaba"
Mas jajal sejarah kertabangsa jarene trahe esih ana ning Banjarkerta Kec. Karanganyar kayane menarik lho
Saya pelaku seni, Dan pernah mengangkat kiss atau crita Daerah Limbasari, Bobotsari
Saya juga pernah berperan menjadi Adipati Pasir luhur
makasih Mas Suswanto Wirawikrama... siap dikulik
mantap Mas Jumbuh Prabowo... purbalingga menang kisah sejarahnya asik asik.. hehe
like
like
Mas..minta infonya,tumbas buku bacaane nang ndi ya ? Turwuwun
Post a Comment