Jaman Dung Theng, Saat Jepang di Purbalingga
Pendudukan Jepang di Indonesia (Dok : langgam.id) |
Pada
masa itu kebutuhan pokok, sandang, pangan, papan semakin susah didapatkan.
Kelaparan dimana-mana sampai banyak warga yang perutnya buncit tetapi bukan
karena kekenyangan, sebaliknya mereka kelaparan. Penyakit ini dikenal dengan
busung lapar alias honger oedem yang diakibatkan kurang makan dan kurang gizi.
Pakaian
sukar dicari sampai karung goni dan karet dijadikan baju dan celana. Seringkali
ada kutu busuk dipakaian yang membuat galat dan sakit kulit. Bahan bakar juga
langka sehingga terpaksa memakai minyak jarak.
Pendudukan Jepang di Nusantara (Dok : Republika) |
Selain
soal kesengsaraan, ada beberapa kebiasaan Jepang yang diterapkan di masyarakat
kita. Eyang saya, baik kakung maupun putri, masih hafal lagu KIMIGAYO, lagu
kebangsaan Jepang. Lagu itu, di wajibkan Jepang untuk dinyanykan setiap pagi,
terutama oleh murid sekolah pada upacara pengibaran bendera. Saat sekolah
bubar, lagunya UMI YUKABA, lagu patriotik Jepang yang disertai penurunan
bendera.
Jika
berjumpa dengan orang Jepang juga wajib untuk menundukan kepala, bahkan
membungkuk. Selain, itu ada olaraga TAISO ala Jepang yang juga dimasyarakatkan.
Satu
hal yang paling lekat dengan era penjajahan Jepang adalah Dung Theng. Apa itu Dung
Theng?
Dung Theng
adalah suara lonceng, yang dibunyikan setelah sirine meraung-raung. Sirine dan
lonceng itu merupakan pertanda ‘bahaya’ dari Jepang. Kadang, penduduk menambahi
dengan kentongan bertalu-talu.
Jika
sudah ada pertanda bahaya itu menyalak, maka, penduduk diwajibkan masuk di
lubang-lubang perlindungan yang sudah dibuat, entah di pekarangan atau di dalam
rumah. Minimal sembunyi dibawah kolong. Ini diwajibkan Jepang untuk dilakukan
dengan alasan menghindari bom atau peluru.
Nguuunggggg..... Nguungggg.......
Dung Thang ...... Dung Theng...
Tong Tong Tong....
Saat
itu terdengar maka, penduduk tergopoh-gopoh masuk ke lubang perlindungan.
Uniknya mereka disarankan sambil mengigit gabus atau karet, telinganya ditutup
kapuk.
Mereka
akan berada di lubang perlindungan sampai sirine dan lonceng berhenti berbunyi.
Setelah reda dan suasana dianggap aman, penduduk baru keluar dari bunker darurat itu.
Bisa
dibayangkan ya betapa repotnya kala itu. Apalagi kalau sirinenya bunyi
malam-malam buta, ujan pula dan pas lagi lelap-lelapnya. Hmmh...
Nah,
sebab suara khas lonceng yang berbunyi ‘dung
thang dung theng’ itu lah maka masyarakat menyebut masa itu sebagai Jaman Dung Theng.
Sebenarnya,
tidak selalu sirine dan lonceng itu dibunyikan sebab ada serangan. Lebih banyak,
itu cuma akal-akalan Jepang untuk menakut-nakuti penduduk. Kemudian, saat
mereka bersembunyi di lubang perlindungan juga dimanfaatkan untuk mengangkut
hasil panen juga hasil rampasan Jepang ke gudang / pelabuhan.
Penduduk yang Kekurangan Makanan dan Gizi Pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (Dok : kompas.com) |
Saat
itu disebutkan Jepang juga berusaha mengganti seluru istilah dalam administrasi
pemerintahan dan kemiliteran. Misalkan sebutan Bupati menjadi Kenco, Wedana =
Gunco, Camat : Sonco, Mantri Polisi Kecamatan : Fuku Sonco, Lurah ; Kuco, Ketua
RT : Kumico.
Kemudian,
istilah pimpinan militer seperti Komandan Batalyon = Daidanco, Komandan Kompi =
Cudanco, Komandan Seksi : Shodanco, Komandan Regu = Bundanco. Jepang juga
memobilisasi rakyat untuk membantu pertahanan sampai tingkat desa seperti
barisan pemuda umur 18-25 tahun (Seinendan). Kemudian yang berumur 26-40 tahun direkrut
jadi barisan pembantu polisi (Keibodan).
Ukuran
setoran hasil panen, sawah seluas 100 ubin diwajibkan untuk menyetor panen
sebanyak tiga kwintal. Agar tidak lolos dan petani patuh, saat panen dijaga
oleh serdadu Jepang untuk memastikan setoran panen sampai ke gudang.
Romusha Era Pendudukan Jepang di Indonesia (Dok : longlaw.com) |
Praktek romusha alias kerja rodi juga ada di Purbalingga, yaitu, pembangunan jalan tembus antara Desa Blater, Kecamatan
Kalimanah menuju Desa Jetis, Kecamatan Kemangkon. Pekerja didatangkan dari
beberapa daerah di Purbalingga. Mereka bekerja seharian tanpa upah dan makanan
juga minim. Jika melakukan kesalahan sedikit saja, mandor-mandor serdadu Jepang
ringan saja memukul dan menendang.
Pembuatan
jalan itu tidak sampai selesai. Sebab, saat baru tahap pemasangan batu makadam,
keburu muncul berbagai perlawanan terhadap Jepang. Tak berapa lama kemudian
Jepang juga menyerah kepada sekutu saat negaranya dijatuhi Bom Atom.
Pada
era Jepang, Bupati Purbalingga dijabat oleh Raden Mas Adipati Aryo Sugondo (1925-1949)
dengan dibantu patih Raden Mas Kartono. Bupati Aryo Sugondo merupakan pemimpin
Purbalingga terakhir yang menduduki tampuk kekuasaan berdasarkan keturunan.
Nelangsa
ya lur Jaman Jepang, mangan angel, turu angler ya angel, klamben ana tumane kon
kerja paksa maning... penjajahan nang alam dunya memang kudu dibusek sek...
0 Response to "Jaman Dung Theng, Saat Jepang di Purbalingga"
Post a Comment