Ki Lanang Bermarga Gan, Pionir Tionghoa di Purbalingga
Ilustrasi Gan Hwan dan Anaknya yang Lari dari China ke Purbalingga (Dok : Meriaty Subroto) |
Sesosok pria tinggi besar mengenakan jubah labuh tradisional China dengan
kumis dan jenggot yang tebal menjuntai tampak seperti tengah berlari
tergesa-gesa. Sosok yang dalam bayangan saya seperti Guan Yu, panglima perang
dalam Legenda Three Kingdoms itu,
mengemban bocah laki-laki juga mengenakan baju tradisional China dengan raut
muka panik.
Relief itu ada pada hiasan nisan sebuah makam
yang ada di Bong Cina, Sawangan. “Itu adalah penggambaran nenek moyang kami,
Gan Hwan menggendong anaknya Gan Tjhiu yang datang dari Desa Qushan, China lalu
sampai ke Purbalingga,” ujar Meriaty Subroto salah satu keturunan Gan Hwan yang
kini tinggal di Delft, Belanda saat berbicang via sambungan Whatsapp Call awal Mei lalu.
Makam yang ada nisanya berelief gambar
itu adalah Makam Gan Thian Pie, keturunan ketiga Gan Hwan yang juga kakek buyut
Meriaty. Sebagai informasi, Desa Qushan, kadang-kadang disebut Qishan saat
ini berada Yongchun, Provinsi Fujian, China. Kebiasaan di China saat itu, dalam
satu desa hampir semuanya penduduknya ada hubungan darah / family.
Saya bisa berkomunikasi dengan Tante
Anyie, begitu Ia dipanggil, atas rekomendasi dari Kris Hartoyo Yahya, Ketua
Paguyuban Masyarakat Tionghoa Purbalingga. Gayung bersambut, lulusan arsitek
dari Delft University itu sangat bersemangat untuk menceritakan leluhurnya di
Purbalingga.
Kami pun ngobrol panjang lebar tentang
kiprah ‘Gan Family’ di Purbalingga yang dimulai dengan kedatangan Gan Hwan dan
anaknya.
Alkisah, Gan Hwan seperti sebagian besar
penduduk Qishan adalah seorang petani. Waktu itu, sebagian besar petani disitu
mengerjakan lahan yang dimiliki oleh tuan tanah. Meski demikian, mereka
bisa hidup tenang dan berkecukupan dengan hasil panen yang melimpah.
Hal itu berubah seiring perkembangan
politik di Daratan Tiongkok. Pada permulaan 1800 itu pemerintahan dibawah Kaisar
Daoguang dari Dinasti Qing, Bangsa Manchu mulai melemah. Banyak terjadi
pemberontakan di daerah dan pemerintah pusat tidak bisa berbuat banyak
sehingga para pengusaha lokal yang biasanya tuan tanah atau warlords merajalela dan banyak berbuat
sewenang-wenang, tak terkecuali warlord
Pengusasa Fujian, Viceroy of Min Zhe (Raja Muda Min Zhe).
Keadan itu diperparah saat Qishan mengalami
paceklik, sekira 1824-25. Penduduk jatuh miskin dan tidak mampu membayar upeti
/ uang sewa kepada tuan tanah. Para penguasa rupanya zalim dan tidak mau tahu
adanya paceklik. Ketidakmampuan mereka membayar upeti dianggap pembangkangan.
Maka dikirimkanlah tentara untuk merampas harta petani, bagi yang tidak mau
dibunuh.
Huru hara itu membuat banyak penduduk
yang memilih untuk melarikan diri dari Qishan untuk menyelamatkan nyawanya dan mencari
penghidupan yang lebih baik. Gan Hwan termasuk yang berhasil melarikan diri dengan
membawa anak nya, Gan Tjhiu yang baru berumur sekira 10 tahun. Rombongan
pelarian itu berhasil sampai di ke Pelabuhan Xiamen untuk naik kapal yang
menuju ke daerah Asia Tenggara.
Setelah berbulan-bulan berlayar,
sampailah mereka di Bumi Nusantara. Mereka mendarat di Pelabuhan Tuban dan lalu
berpencar. Gan Hwan memilih untuk berjalan ke arah barat, sampailah mereka di Pekalongan
dan bertemu dengan Gan Peng, sesama pelarian bermarga Gan yang sudah lebih dulu
tiba.
Saat mereka tiba, Perang Diponegoro
(1825-1830) tengah berkecamuk dahsyat. Hal itu, tidak terlalu kondusif bagi
pelarian seperti mereka sebab palagan perang sampai juga di Pekalongan. Ia disarankan
untuk pindah ke sebelah selatan Pegunungan Menoreh sebab disana keadaannya lebih
aman dan masih banyak lapangan kerja sebagai petani, keahlian Gan Hwan.
Singkat kata, setelah perjalanan berhari
hari, Gan Hwan yang hanya berdua dengan anaknya sampailah di Purbalingga sekira
tahun 1830. Mereka diterima oleh masyarakat setempat dan diperbolehkan untuk
membuka lahan di wilayah Sirongge. (Saat ini Sirongge masuk di wilayah
Kelurahan Kembaran Kulon, Kecamatan Purbalingga).
Menurut cerita penduduk setempat
dan legenda famili Gan, Ia menemukan dua mata air kecil (belik) yang diangapnya sebagai pertanda baik dan memutuskan untuk
tinggal disitu. Gan Hwan pun menerapkan keahlianya bercocok tanam padi di
Sirongge.
Lambat laun, semakin banyak penduduk
lokal yang ikut membuka lahan dan bertempat tinggal disitu. Gan Hwan pun
semakin diterima penduduk situ, bahkan dianggap sebagai tetua kampung dan
mendapat sebutan Ki Lanang.
“Mereka memanggil Gan Hwan sebagai
Ki Lanang, mungkin sebab dia dianggap seorang master dalam hal menanam padi,”
ujar Ibu Anyie yang merupakan keturunan Gan Hwan ke-6.
Catatan : kalau menurut saya penyebutan
Ki Lanang sebab dia seorang lelaki yang datang tanpa istri ke Purbalingga. Gan
Hwan juga tercatat tidak memiliki keturunan, kemungkinan Ia tak menikah lagi
selama di Purbalingga. Biasanya orang jawa menyebut seseorang bisa karena keadaan,
keahlian atau kebiasaanya.
Makam Gan Hwan di Sirongge sebelum dipindahkan ke Bong Sawangan |
Ia pun betah tinggal di Sirongge sekitar
lebih dari 30 tahun sampai akhir hayatnya pada 1860. Gan Hwan dikebumikan di
Sirongge di tengah areal sawah, diantara dua belik kecil yang dibukanya. Itu
menjadi satu-satunya kuburan yang ada di tengah areal sawah disitu. Gan Hwan bisa dibilang salah satu generasi awal keturunan Tionghoa pertama
di Purbalingga.
Pada 2018, makam Gan Hwan dipindah ke Bong
Cina Sawangan. Sebab, tanah yang menjadi lokasi pemakamannya dibeli sebuah
yayasan dan akan dibangun gedung pendidikan.
Sementara itu, puteranya yang bernama Gan Tjhiu yang masa kecilnya sebagian
di Sirongge sudah seperti penduduk lokal. Ia membaur dan dikenal pandai bergaul
.
Gan Tjhiu menikah dengan Ooij Bie Nio,
putri Tionghoa dari Wiradesa, Pekalongan. Kemungkinan merupakan keturunan dari
rombongan yang dahulu sama-sama merantau dari Tiongkok. Gan Tjiu ini lah yang
kemudian melahirkan generasi penerus Gan di Purbalingga.
Gan Tjiu mempunyai 6 anak, 3
perempuan Gan Koen Po, Gan Kiem Tjio, Gan Tjo Tie dan 3 laki-laki Gan Sin Hwat, Gan Sin Sing dan Gan Sin
Thay . Anak perempuannya menikah dengan pribumi, orang Bobotsari. Sementara
anak laki-lakinya, Gan Sin Hoat pindah ke Kalimahan dan Gan Sin Ning ke
Purbalingga. Mereka beralih profesi menjadi pedagang. Sementara Gan Sin Thay
tidak ada keturunannya karena meninggal waktu muda.
Gan Tjhiu Menentang Tanam Paksa
Gan Tjhiu yang seorang petani dan
dikenal dekat dengan pribumi saat itu turut merasa senasib sepannggungan
ditindas Belanda yang mempraktekan kebijakan Tanam Paksa (1830-1870). Ia pun
ikut menentang praktek yang menyengsarakan rakyat itu dan diperkirakan meninggal
karena perjuanganya.
“Gan Tjhiu meninggal pada 1867, hanya 7
tahun setelah meninggalnya. Jika sampai di Purbalingga pada umur 10 tahun
berarti saat meninggal usia yang relatif muda, sekitar 48 tahun,” katanya.
Makam Gan Tjhiu (Dok : Pribadi) |
Oleh karena peristiwa ini, Gan Tjhiu tidak
dikubur di sebelah bapaknya tetapi dikubur bersama teman-temanya di kuburan muslim
Kembaran Kulon. Saat ini, kuburannya ada di sebelah Mesjid Al Kautsar dan
merupakan satu-satunya kuburan China disitu.
“Kita keturunannya menganggap ini alasan
yang sangat kuat untuk tidak memindah kuburan Gan Tjhiu ke Sawangan (Kompleks
Kuburan Cina) bersama-sama bapaknya dan keturunannya lainnya,” kata Anyie.
Peristiwa ini juga yang menyebabkan
anak-anaknya, Gan Sin Hoat dan Gan Sin Sing memutuskan untuk tidak meneruskan
profesi kakek dan bapaknya sebagai petani di Sirongge.
Gan Sin Hoat pindah ke Kalimanah dan menjadi
pengusaha sukses yang lebih dikenal dengan nama Babah Gudang karena banyak
mempunyai gudang di jalur jalan raya Purbalingga - Purwokerto. Gan Sin Hoat
bahkan bergaul dengan bangsawan lokal Raden Ngabehi Kertadiredja, Wedana
Sokaradja saat itu yang merupakan anak dari Rd. Adipati Broto Diningrat, Bupati
Banyumas yang masih keturunan Trah Yudonegoro dan mempunyai hubungan darah
dengan Keraton Yogyakarta.
Gan Sin Hoat bahkan mempersunting cucu
wedana Sokaradja bernama Rd. Ngtn Danuwidjaya sebagai isterinya. “Kakek dari
ayah saya, Gan Thian Pie adalah salah satu anak dari Gan Sin Hoat dan Rd. Ngtn
Danuwidjaya,’ ujarnya.
Makam Gan Sin Hoat (Babah Gudang) di Kalimanah (Dok : Meriaty Subroto) |
Gan Sin Hoat dikubur di Kalimanah,
sebab, meninggal sebelum tahun 1900 dimana kompleks Kuburan China Sawangan
belum dibuka.
Sementara Gan Sin Ning, pindah ke kota
Purbalingga dan juga memulai berniaga. Ia dan keturunanya dikenal sebagai
pengusaha sukses dan memiliki berbagai lini usaha. Anaknya, Gan Thian Koeij
bahkan menjadi opsir tionghoa pertama di Purbalingga. Kisah tentang Gan Thian
Koeij sudah saya tulis dan bisa dibaca disini
Kaya Kuwe Lur, Kisaeh Babah Gan Hwan,
dijenengi nang wong Purbalingga Ki Lanang, salah sijine wong Tionghoa sing asli
mlayu sekang kampunge Jet Lee maring ngeneh...
Sumber :
Ibu Meriaty Subroto (Gan Swan Lie), Saat ini tinggal di Delft Belanda, Keturunan Gan Hwan ke - 6. Special thanks to Pak Kris Hartoyo Yahya, Ketua Paguyuban Masyarakat Tionghoa Purbalingga yang sudah menghubungkan dengan Tante Anyie.
0 Response to "Ki Lanang Bermarga Gan, Pionir Tionghoa di Purbalingga"
Post a Comment