Kisah Perjumpaan Keturunan Imigran Purbalingga di Suriname dengan Keluarganya
Boewang Kartadi Bertemu dengan Sainem di Cipaku (Dok : Arie Grobbe) |
Mereka bukan tamu
sembarangan, sebab, ternyata saudara-saudaranya yang Ia sendiri baru tahu hari
itu. Rombongan yang datang dari Kota Helmond, Belanda itu menyandang nama
belakang persis seperti ayahnya yang sudah lama hilang, Kartadi.
Tamu dari Helmond
itu ada Boewang Kartadi, Ponimin Kartadi, Jatimin Kartadi, Caroline Kartadi,
Nelly Kartadi, Marjani Kartadi. Ternyata, mereka adalah keturunan dari Kartadi,
ayah Sainem yang dibawa Belanda ke Suriname 89 tahun sebelumnya.
Saat ayahnya pergi melintasi benua, Sainem
masih bayi merah dan belum sempat menyaksikan bagaimana rupa ayahnya. Kartadi
dibawa ke Suriname meninggalkan istri dan 3 anaknya. Selain Sainem yang masih bayi, ada dua kakak
lelakinya yang juga masih bocah, Marsoedi dan Boengkoel.
Kepergian Kartadi
membuat kesedihan mendalam bagi dua kakak lelakinya itu. Mereka lalu sakit-sakitan dan meninggal saat masih kanak-kanak. Ibunya meninggal tak lama kemudian.
Sainem pun menjadi anak sebatangkara dan diasuh oleh neneknya.
Arie Grobbe, Boewang Kartadi, Sainem dan Keluarganya di Cipaku (Dok : Arie Grobbe) |
Oleh karena itu, Sainem
sama sekali tak mengira, Ia masih memiliki adik-adik satu ayah dan hari itu
bertemu dengan mereka. Sejak kecil, Ia sudah menganggap dirinya yatim-piatu.
“Jangankan bertemu,
mengerti saja tidak kalau masih punya banyak keluarga yang tinggal di dua
negara bahkan dua benua. Eropa dan Amerika. Tuhan Maha Besar, Allahu Akbar. Tuhan
sudah mempertemukan mereka,” ujar Ari
Grobbe pada postingan di media sosialnya saat itu.
Ari Grobbe adalah
warga Desa Karangbanjar yang masih keturunan Belanda. Pelatih Renang handal
dari De Zander Swiming Club itu memang aktif menghubungkan imigran Jawa Suriname
dengan keluarganya di Purbalingga dan sekitarnya sejak 2012.
Ketika saya
mempublikasikan artikel pertama soal Orang-orang Purbalingga di Suriname (bisa
dibaca di sini dan di sini), Mas Ari langsung di-mention
oleh beberapa rekan sebagai orang yang harus dijadikan sebagai narasumber.
Menurutnya, selain Kartadi ada beberapa keturunan imigran Purbalingga yang datang
mencari keluarganya.
“Ada Martadinala
Partinem yang mencari keluarganya di Cipaku dan Bukateja serta ada beberapa
keturunan imigran asal Desa Pelumutan dan Bobotsari.” Katanya.
Kartadi ke
Suriname
Kartadi alias Rasal memang salah satu pekerja kontrak
yang dibawa Belanda ke Suriname. Berdasarkan data Contractarbeiders uit Java yang ada di Nationaal Archief Belanda, lelaki bertinggi 156
cm itu dibawa saat berumur 28 tahun. Kartadi diberangkatkan ke Paramaribo via
Batavia pada 22 Mei 1929 dengan Kapal Simaloer III oleh agen tenaga kerja Bergh,
J. van de.
Berarti saat, Boewang bertemu dengan Sainem, 21 Mei
2017, bertepatan dengan 88 tahun kepergian Kartadi dari Desa Tjipakoe. (Saat
itu, Tjipakoe masuk dalam wilayah District
Bobotsari).
Kartadi (Dok : Nationaal Archief Belanda) |
Kartadi mulai bekerja pada 7 Juli 1929 di perkebunan Sorgvliet,
Visserszorg en Leliendaal dengan nomor kontrak AG725. Setelah selesai
kontrak, Kartadi memilih untuk tinggal di Suriname.
Kartadi membangun keluarga baru dan beranak pinak di
negara tetangga Brazilia itu. Anak-anaknya lahir berturut-turut Tisem pada 2
juli 1930, Sarimin pada 10 September
1932, Sarmin pada 16 Desember 1934,
Lasijem pada 22 Februari 1937, Sarmini pada 19 Juni 1939 dan Sirlas pada 9 Januari
1942.
Nah, Boewang
Kartadi adalah anak dari Sarmin. Keluarga Besar Kartadi kemudian
berdiaspora tidak hanya di Suriname, tetapi juga di Belanda. Mereka ini lah
yang melacak jejak leluhurnya di Purbalingga dan kemudian rame-rame ke Cipaku
untuk menemui Sainem dengan bantuan Mas Arie Grobbe.
Hmmm, mengharukan yaa.... saya bisa kebayang bagaimana
Mbah Sainem, hampir 90 tahun usianya baru tahu bahwa dirinya memiliki saudara
dan akhirnya bertemu. Alhamdulilah, Mas Boewang Kartadi juga sukses disana.
Ada juga cucunya Kartadi yang tinggal di Amsterdam
cantik lho, namanya Caroline Kartadi. Sebelahnya yang berjilbab namanya
Rosiyah, cucunya Mbah Sainem. Mirip kan?
Rosiyah dan Caroline Kartadi (Dok : Arie Grobbe) |
Semoga ada lagi perjumpaan-perjumpaan seperti ini. FYI,
ada 565 orang dari Afdeling
(Kabupaten) Purbalingga terdata di National Archief yang dibawa ke Suriname
oleh Belanda. Saya sudah merekap sebagian datanya dan mempublikasikanya di dua artikel
sebelumnya.
Serba-Serbi
Pekerja Kontrak Jawa di Suriname
Ngomong-ngomong, bagaimana sih Pekerja Kontrak di
Suriname itu?
Jadi, contractarbeiders alias pekerja kontrak atau kuli kontrak, itu
sebutan orang-orang Jawa yang dibawa oleh Pemerintah Kolonial Belanda bermigrasi
ke Suriname. Praktek itu dimulai selama 40 tahun, mulai 1890 sampai 1930. So, jika dihitung sampai tahun ini (2020),
genap 130 tahun migrasi orang Jawa ke negara koloni Belanda di Amerika Selatan
itu.
Mereka menjadi pekerja kontrak di
sektor perkebunan sebagai pengganti para budak yang dilarang sejak 1 Juli 1863.
Saat itu, praktek perbudakan memang sudah mulai dihapus di Eropa, temasuk
Belanda. Jadi, yaa, meski tetap dieksploitasi, mereka sebutannya adalah kuli
kontrak, bukan budak.
Pekerja Jawa di Suriname (Dok : KITLV / Tirto) |
Menurut laporan tirto.id, sebelum kedatangan imigran dari Jawa, kuli kontrak di
Suriname sebagian berasal dari India-Britania. Mereka ini sering berbuat ulah
dan menuntut upah besar sehingga digantilah para pekerja dari Jawa yang murah,
juga patuh.
Gelombang pertama imigran dari Jawa
datang pada 1890. Mereka, berjumlah seratus orang, ditempatkan di Marienburg,
perkebunan tebu terbesar di Suriname. Periode 1890-1916, rata-rata orang Jawa
datang ke Suriname berjumlah 700 orang per tahun. Jumlahnya berlipat pada 1916
setelah pekerja kontrak India-Britania tak lagi dipakai.
Pekerja kontrak dari Jawa meneken
kontrak kerja selama lima tahunan. Gajinya 60 sen untuk pekerja pria dan 40 sen
untuk pekerja perempuan. Setelah kontrak selesai, mereka diizinkan pulang ke
Jawa. Jika ingin menetap, mereka diberi uang 100 gulden dan sepetak tanah.
Meski tak seburuk praktek perbudakan,
kehidupan kuli kontrak juga mengenaskan. Pemerintah tak menyediakan sarana
pendidikan. Mereka khawatir, jika mereka menjadi pandai, mereka keluar dari
perkebunan dan bekerja di kota.
Jan-jane ya pada baen yaa... dasar
penjajah, pinter be ora olih... huuu.
Angin perubahan bertiup saat Johannes
Coenraad Kielstra, mantan wakil jaksa di Hindia Belanda menjadi Gubernur
Suriname (1933-1944). Ia membuat kebijakan baru terhadap pekerja kontrak dan ingin
membuat Suriname menjadi lebih berasa Asia.
Johannes Coenraad Kielstra (Dok : suriname.nu) |
Itulah mengapa budaya Jawa terus
berkembang di Suriname hingga kini. Masyarakat Jawa pun eksis disana dan sampai
menduduki jabatan strategis, bahkan, salah satu keturunan imigran dari
Banyumas, Raymond Sapoen pernah
menjadi kandidat presiden. Almarhum Lord Didi Kempot sangat tenar dan rutin
manggung di sana, bahkan, Ia menggubah satu lagu tentang salah satu tempat
disana berjudul Kangen Nickerie.
Berdasarkan data Contractarbeiders Uit Java
1890-1930 di National Archief, jumlah imigran dari Jawa mencapai 33
ribu orang. Banyak yang meninggal karena kerasnya hidup di perkebunan.
Kemudian, ada 7.684 orang kembali ke nusantara ketika perang Dunia II berakhir.
Itupun sebagian besar tidak ke Jawa, namun ditempatkan di Sumatera.
Saat ini, berdasarkan data wikipedia,
populasi keturunan Jawa di Suriname sekitar 8,5 persen dari total penduduk.
Jumlahnya sekitar 40 ribu orang. Seperti yang sudah saya tulis
sebelumnya, terdata di Nationaal Archief
ada 565 orang dari Gewest (wilayah)
Banjoemas, Afdeling (Kabupaten) Poerbolinggo
yang dibawa ke Suriname.
Sebagai informasi, Afdeling Poerbolinggo ternyata
wilayahnya lebih luas lho dari yang Kabupaten Purbalingga sekarang. Setelah
saya telusuri ada Kecamatan / District
yang saat ini masuk di Kabupaten Banjarnegara seperti, Wanadadi, Klampok,
Mandiraja, Rakit, dulunya tercatat Belanda masuk dalam wilayah Afdeling Poerbolinggo.
Kaya kue lur... serr...
Sumber :
Mas Arie Grobbe, Wikipedia, National Archief Belanda dan suriname.nu
1 Response to "Kisah Perjumpaan Keturunan Imigran Purbalingga di Suriname dengan Keluarganya"
mengharukan pertemuane ndean ya kang...maturnuwun infone
Post a Comment