Penyergapan di Sindoeradja dalam Catatan Serdadu Belanda
Buku De Hinderlaag bij Sindoeradja karya Hans Gerritsen (Dokumen : amazon.com) |
Gerritsens
mencatat dengan details peristiwa yang terjadi di Sindoeradja, dimana, Ia dan
pasukanya disergap Pasukan Republik. Salah seorang anak buahnya, Jan Seckles tewas
dihajar pelor pejuang tepat di kepalanya.
Rupanya,
Ia sangat terkesan dengan peristiwa itu, sampai-sampai, buku yang ditulisnya
meski berisikan catatannya selama bertugas di Jawa namun diberi judul :
De hinderlaag
bij Sindoeradja: Militaire Acties op Java, 1948-1950
alias Penyergapan di Sindoeradja, Aksi Militer di Jawa, 1948-1950.
Peristiwa
mengenaskan itu digambarkanya secara naratif, serupa diary. Berikut ini saya
terjemahkan dari bukunya langsung. Saya hanya sedikit menyesuaikan susunan
kalimatnya saja. Berikut ini catatannya :
Kemudian tibalah tanggal 30
Maret 1949. Pada hari itu direncanakan aksi besar-besaran.Pertanda buruk bahwa
sejak awal kami tidak melihat ada orang yang menggarap sawah dan kampung yang
kami lewati juga punah. Ada keheningan yang tidak nyata di seluruh wilayah
indah yang kami lewati.
Kami sekarang berada di
jalan selama sekitar tiga jam. Sudah hampir jam sepuluh. Matahari sudah tinggi
di langit dan saat itu semakin hangat. Kami belum pernah ke daerah itu
sebelumnya.
Betapa indahnya di sini!
Sungguh alam surga dengan kampung-kampung hijau yang tersebar dan ladang
alang-alang.
Tidak ada satu manusia pun
yang terlihat. Di kampung-kampung kami paling banyak menemukan beberapa orang
tua dan sakit. Semakin jauh kami bergerak melalui dunia yang kosong itu, kami
semakin merasa tertekan.
Di kejauhan terkadang seekor
anjing menggonggong atau ayam jantan berkokok. Tapi itu satu-satunya suara yang
kami dengar. Sejauh mata memandang, tidak ada makhluk hidup yang terlihat.
Setelah beberapa saat, kami
hanya berbisik dengan sangat lembut atau mengerjakan gerakan. Kami sekarang
berjalan di tepi rerumputan dan menghindari bagian jalan yang lebih sulit,
karena takut membuat kebisingan. Di pertigaan bercabang tiga kami berbelok ke
kiri dan melanjutkan ke arah timur. Di kiri jalan ada beberapa perkebunan
jagung kecil dengan satu kampung di belakangnya. Di sebelah kanan jalan,
beberapa rumah kampung dijauhkan dari jalan raya.
Saya berada cukup di depan
berada di tepi kiri. Beberapa pengintai berjalan di depan saya di sebelah
kanan, termasuk Joop Langeveld dan Jan Seekles. Mereka berjalan beberapa meter
dari jalan raya melalui kampong, dengan senapan siap pakai. Kami semua sangat
waspada.
Pada satu titik kami tiba di
daerah yang lebih terbuka dengan lapangan alang-alang di sebelah kiri, rumput
tinggi kering sekitar setengah meter. Di sebelah kanan jalan, beberapa meter
dari bahu jalan, ada pagar anyaman bambu setinggi kira-kira satu meter. Di
belakangnya ada beberapa rumah kampung yang tersebar di antara semak-semak,
kursi bambu dan pohon kelapa. Itu adalah bagian medan yang berbukit,
berpotongan dengan parit dangkal yang kering.
Di awal lapangan
alang-alang, tiba-tiba terjadi keributan. Dari depan, dari belokan di jalan dan
dari kiri melintasi rerumputan, hujan peluru menghujani kami. Refleks pertama
saya, maju datar dan berguling, adalah sesuatu yang telah saya pelajari selama
bertahun-tahun dan telah menjadi kebiasaan. Kami di jalan. Tidak bisa menutupi!
Saya dengan cepat merangkak
sedekat mungkin dengan alang-alang, agar sesedikit mungkin terlihat. Ya, ada
jurang yang sangat dangkal, mungkin hanya sedalam satu kaki, dan saya bergerak
ke arahnya. Sementara itu, peluru berdengung di rerumputan seperti lebah yang
marah. Bilah rumput patah tepat di depan mataku. Itu adalah tontonan yang luar
biasa, derak dan gemeretak yang memekakkan telinga dari semua jenis senjata.
Saya takut, sangat takut dan
merasa seperti saya sendirian. Peluru terbang melewati dan melewati saya dan
memantul dari batu-batu besar tepat di sebelah saya. Itu adalah ketakutan yang
mencekik dan mencekik. Sekarang itu bayangkan terjadi pada Anda, itu terjadi
pada saya. Baru berumur dua puluh satu dan haruskah semuanya berakhir sekarang??
Setelah beberapa kali
menarik napas dalam-dalam, saya sedikit tenang. Tetap tenang, kataku pada diri
sendiri, dan ketakutan terburuk mereda. Saya tidak bisa lagi tinggal di tempat
terbuka itu. Dalam pikiran saya, saya menghitung sampai tiga, melompat dan di
bawah hujan peluru saya terbang melintasi jalan, menyelam dekat pagar bambu,
membalikkan badan dan berakhir di antara semak-semak dan daun-daun layu di
medan pertempuran.
Saya berakhir tepat di
sebelah Leen Slobbe. Dia menyebarkan mortir 2 inci miliknya dan bersama-sama
kami mengejar mortir satu demi satu di atas lapangan alang-alang dan masuk ke
dalam kampung. Beberapa saat kemudian terjadi pukulan hebat.
Sementara itu, anak buah
kami secara bertahap mengambil alih penembakan. Di barisan kami ada kebingungan
di sekitar saya, saya mendengar erangan dan erangan. Tidak jauh dari saya ada
seorang anak laki-laki yang terluka parah; tepat di sebelahnya tergeletak
seorang prajurit memanggil dengan lembut untuk ibunya. Di depan seseorang
terbaring mengutuk kesakitan.
Ketika situasi sedikit
membaik, ada sepak terjang pendek menuju kuburan kecil di mana kami juga telah
dicegat. Musuh sudah menghilang.
Setelah penembakan itu,
salah satu anak prajurti berlari ke arah saya dan buru-buru berkata, "John
sudah mati". Saya tidak langsung tahu siapa yang dia maksud, karena kami
memiliki banyak orang dengan nama depan itu di pasukan kami. Aku segera
berjalan bersamanya.
Ternyata Jan Seekles, bocah ceria dan selalu
ceria dari Zeeuws-Vlaanderen. Dia tertembak di kepala, dia pasti langsung terbunuh.
Wajahnya tertutup sebagian. Mengerikan melihatnya terbaring di sana seperti
itu. Kemarahan dan kesedihan membanjiri saya, tetapi yang mengejutkan juga
perasaan gembira bahwa tidak ada yang terjadi pada saya.
Jan Seekles dimakamkan
dengan penghargaan militer di sebidang perbukitan di Banjoemas pada salah satu
hari pertama bulan April 1949. Kami semua hancur.
Peristiwa itu mengingatkan
saya, setelah kembali ke Belanda, sekitar Juli 1950, suatu hari saya pergi ke
Breskens untuk mengunjungi orang tuanya.
Betapa sulitnya situasi yang
saya pikirkan saat iru, mengetahui bahwa dia adalah putra satu-satunya. Anak
yang baru berusia 22 tahun, betapa mengerikannya saya harus memberi tahu orang
tuanya bagaimana semua itu terjadi. Apa yang harus saya lakukan dengan
orang-orang miskin yang telah kehilangan anak satu-satunya itu. Dan untuk apa?
Anda bertanya-tanya sekarang.
--0--
Letnan
Hans Gerritsen adalah komandan peleton ke-2 kompi ke-3 dari Batalyon Infantri
411 Garderegiment
Grenadiers. Ia meninggalkan Belanda dengan kapal SS Zuiderkruis pada
tanggal 30 Juli 1948 dan tiba di Hindia Belanda pada tanggal 22 Agustus 1948.
Ia
kemudian ditugaskan di Jawa Tengah dari mulai wilayah di sekitar Salatiga,
Magelang, Kopeng, Temanggung, Wonosobo sampai di Purbalingga, Purwokerto, Ajibarang
dan Cirebon.
Bukunya
berjudul Hinderlag Bij Sindoeradja merupakan
catatan perjalannya selama kurang lebih 3 tahun bertugas di Indonesia dalam politionale actie alias agresi militer
ke II yang bertujuan untuk merebut kembali Indonesia yang baru merdeka.
Pada
pengantar bukunya, Ia menyebutkan buku itu ditulis untuk mengenang Jan Seekles,
Jan Lowies dan Frans Lelieveld yang meninggal di Indonesia dan juga dipersembahkan
untuk para veteran batalion tersebut.
Jan Seekles te Poerbolinggo (Dokumen : Album Foto P A Tazelaar di indiegangers.nl) |
Jan
Seekles yang terbunuh di Sindoeradja sangat bekesan di hatinya. Ia menulis di
keterangan pada sebuah foto prajurit belia itu saat di Purbalingga seperti ini :
"Het is een fotootje van een lachende jongen erop: een
jongen van rond de twintig, zittend op een witstenen muurtje, bij een brug,
ergens aan de kampongrand. Een Lee-Enfield-geweer over zijn knieƫn, de vechtpet
wat schuin naar achteren. Op de donkere achtergrond staat met witte inkt
geschreven : Jan Seekles, gesneuveld op 30 maart 1949 bij Sindoeradja"
"Itu gambar anak
laki-laki yang tertawa di atasnya: seorang anak laki-laki berusia dua puluhan,
duduk di dinding batu putih, di dekat jembatan, di suatu tempat di tepi kamp.
Senapan Lee-Enfield di atas lututnya, topi tempurnya agak miring ke belakang.
Di latar belakang gelap tertulis dengan tinta putih : Jan Seekles, dibunuh pada
tanggal 30 Maret 1949 dekat Sindoeradja"
J Seekles op de achtergrond de werkende Slamat te Poerbolinggo (Dokumen : Album Foto P A Tazelaar di indiegangers.nl) |
Jan
Seekles sendiri tidak berangkat bersama dengan Gerritsen.Prajurit belia itu baru
berusia 20 tahun saat itu dikirim ke Hindia Belanda pada 30 Juli 1948 dan tiba
di Batavia pada 25 Agustus 1948. Baru 1 Desember 1948, Ia dikirim untuk
melakukan operasi militer di Jawa Tengah dibawah kepemimpinan Letnan Gerritsen.
Ia
lalu terbunuh pada 30 Maret 1949 di Sindoeradja, sebuah kampung kecil di Poerbalingga,
tak sampai 1 tahun setelah Ia menjejakan kaki di Indonesia.
Usai
agresi militer Belanda ke II berakhir dan gagal, Letnan Gerritsen dipulangkan
ke negaranya pada tanggal Mei 1950. Ia bercerita seperti ini :
Pada 24 Mei, sebuah kereta
yang terisi penuh membawa batalion tersebut ke Tandjong Priok, pelabuhan
Jakarta, di mana Jenderal Greely, sebuah kapal pengangkut pasukan Amerika yang
disewa, sudah menunggu.
Dini hari pada tanggal 25
Mei pagi, tali tambat dilepaskan dan kapal perlahan-lahan berlayar keluar dari
pelabuhan. Selamat tinggal Jawa
Meet de carrier bij het camp in Poerbolinggo (Dokumen : Album Foto P A Tazelaar di indiegangers.nl) |
Begitulah,
perang selalu menyisakan tragedi. Hans Gerritsen, seorang serdadu Belanda
menuliskan dari sudut pandanganya sebuah fragmen perang yang terjadi di Bumi Perwira.
Tulisannya, selain details juga cukup humanis dan menyentuh.
Pilihan
diksinya juga apik. Misalkan, Dia menggambarkan peluru yang berterbangan
berdengung di rerumputan seperti lebah yang marah. Kemudian dampak terjangan
peluru bilah rumput patah tepat di depan matanya. Menurutnya itu tontonan yang
luar biasa, derak dan gemeretak yang memekakkan telinga
Hans
juga manusia biasa. Ia merasakan ketakutan yang amat sangat akan kematian saat
peluru berhamburan melewatinya dan memantul dari batu-batu besar tepat di
sebelahnya. Menurutnya, itu adalah ketakutan yang mencekik dan mencekik
Ia
juga merasakan kesedihan mendalam atas kematian anak buahnya yang harus
berkalang tanah beribu kilometer jauhnya dari tanah kelahirannya. Menurutnya
sangat mengerikan melihat langsung jasad anak buahnya yang terpapar peluru.
Ia
merasakan kemarahan dan kesedihan yang, kata dia, membanjir. Namu, dilain sisi,
Ia dengan jujur juga mengungkapkan kelegaan dan kegembiraan bahwa tidak ada
yang terjadi pada dirinya. Ia selamat.
Kemudian
dari tulisan Hans, terselip juga pujian tertadap keindahan Bumi Perwira yang
menurutnya bak surga.
Pemandangan Alam Purbalingga dengan Latar Belakang Gunung Slamet (Dokumen : Album Foto P A Tazelaar di indiegangers.nl) |
Kaya
kue lur. Kisah penyergapan nang Sindoeradja sing diceritakna nang bukune tentara
landa...
Sumber :
Buku
Hans Gerritsen, Penyergapan di Sindoeradja, aksi militer di Jawa, 1948-1950, Penerbit
Hollandia BV, 1987, Baarn (ISBN 906 045 5794) dan keterangan
Family Tree J Seekles di situs genealogie Belanda
Special thanks to :
Bro
Thorik Juned Bawazier di Amsterdam Belanda yang telah mengenalkan buku itu.
Berkat buku tersebut saya menemukan clue yang
membawa pada ratusan foto koleksi serdadu Belanda bernama P A Tazelaar, anak buah Hans Gerritsen, rekan Jan
Seekles selama di Purbalingga.
Pasukan Belanda Tengah Berpatroli (Dokumen : Album Foto P A Tazelaar di indiegangers.nl) |
1 Response to "Penyergapan di Sindoeradja dalam Catatan Serdadu Belanda"
Mas..melu maca bukune olih raa ? Aku oenasaran bgtt wkwkw aku cah sinduraja
Post a Comment