Perang Pepedan, Saksi Perjuangan Pasukan Siliwangi di Purbalingga
Pesawat 'Cocor Merah' Belanda (Dokumen : Kompasiana) |
Setandan kelapa yang baru saja diantar
warga untuk mengobati dahaga para tentara dari tatar sunda itu belum selesai
dinikmati kala pesawat tempur itu mengangkasa di langit Pepedan. Tak hanya
satu, pesawat berikutnya menyusul. Sontak suasana rileks yang baru terbangun
menjadi tegang.
Kapten
Suhaebi, pimpinan
pasukan, sigap menangkap tanda bahaya. Pesawat yang dikenal dengan sebutan ‘Cocor Merah’ itu jelas bukan milik
pasukan republik. Lukisan bendera merah putih biru terlihat jelas di ekor
pesawat. Segera diinstruksikan seluruh pasukannya untuk berlindung.
“Pasukan berlindung segera.
Tiaraaap!!! Ada Cocor Merah Belandaa!!,” ujar sang kapten lantang bersaing
dengan nyaringnya raungan pesawat. Rekannya, Kapten Soeparjo segera memberikan
perintah serupa.
Belum juga instruksi mereka dijalankan
sempurna. Senapan dari Cocor Merah sudah menyalak galak. Pasukanya dibuat panik
bukan kepalang.
Mereka berlindung sekenanya. Ada yang
tiarap di jalan, berlindung di balik pematang, berlari ke arah Kali Gasong yang
mengalr tak jauh dari tempat mereka rehat atau dibawah pepohonan yang celakanya
tak banyak karena di tengah areal persawahan.
Sepeminuman teh kemudian, pesawat
tempur buatan Amerika Serikat yang bernama asli Mustang Kity Hawk P-40 itu sudah mendapatkan korban. Soeganda,
prajurit muda berpangkat Serda menjadi korban pertama. Serma Muchi menyusul
terterjang peluru saat berusaha berlindung di pematang sawah.
Medan yang berada ditengah sawah yang
minim pepohonan besar memang membuat Pasukan Siliwangi kesusahan untuk
membangun pertahanan. Cocor Merah pun leluasa memuntahkan pelurunya mengincar
pasukan yang berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan diri.
Kapten Suhaebi menginstruksikan
pasukanya untuk membalas sebisa mungkin. Ia juga turut mengokang senapanya
mengincar badan pesawat Cocor Merah. Namun, upaya mereka sia-sia. Cocor Merah
segera bermanuver dan kembali menyemburkan timah panas.
Lettu Mahmud yang berda tak jauh dari
posisinya disaksikanya sudah berlumuran darah. Erangan menyebut nama besar sang
maha pencipta terdengar dari mulutnya. Jerit kesakitan terdengar dimana-mana.
Pesawat Cocor Merah Mengangkasa (Dokumen : jejaktapak.com) |
Lettu Rukiman, Letda Umar, Letda
Bastomi, Letda Achmad, dan Letda Bastomi yang sudah berusaha keluar dari
perlindungan untuk membalas tembakan dari Cocor Merah malah berakibat fatal,
berondongan peluru membuat mereka semua terkapar. Sulaman, Iman, Muhaimi, Soekarjo,
Achmad Badawi sudah tak menyahut ketika Ia memanggil nama mereka. Desingan
peluru jauh lebih keras dari suara teriakanya.
Pepedan membara. Sang Kapten matanya berkabut melihat
anak buahnya bergelimpangan. Ia makin tercekat ketika melihat Euis, sang
perawat dari Palang Merah Indonesia (PMI) juga telah bersimbah darah. Baju
perawat jelita yang berwarna putih sudah memerah.
Ia segera mengisi senapannya dan
menembak sekenanya ke arah Cocor Merah. “Belanda Jahanam!,” geramnya sembari
mengokang senapan.
Pelurunya ada yang berhasil mengenai
badan pesawat namun tak begitu berarti. Cocor merah kembali menyalak, seolah
ingin menghabisi seluruh pasukannya. Empat orang anak buahnya kembali menjadi
korban.
Berikutnya, Kapten Soeparjo, rekan
yang sangat dihormatinya berkalang tanah. Mata Soehabi makin berkabut. Air
matanya tumpah ketika Pak Sakun, warga desa yang mengantarkan kelapa muda untuk
mereka ikut menjadi korban. “Allahu Akbar,” pekikan itu yang terdengar terakhir
dari mulutnya.
Ilustrasi Perang Pepedan Pada Monumen Perjuangan Siliwangi (Dokumen Pribadi) |
Soehabi tak kuat melihat rentetan peristiwa
itu. Sambil menyebut Nama Allah dia keluar dari perlindunganya dan menembak
membabi buta ke ara Cocor Merah. Namun, aksi heroiknya hanya bertahan sekejap,
pelurunya habis dan disaat yang sama penembak dari pesawat cocor merah
mengokang senapan. Semburan mitraliur menerjang mengincar Sang Kapten.
Beberapa peluru menjangkaunya. Suehabi
tersungkur. Matanya Nanar. Ia sempat mengacungkan kepalan tangannya ke atas
sebelum berondongan peluru kembali menerjangnya.
Soehabi mengumpulkan sisa-sisa
tenaganya. Lalu, dengan tangan masih mengepal keatas Ia berteriak lantang. “Merdeka Atau Mati. Allahu Akbar!”.
Setelah itu tubuhnya ambruk, darahnya tumpah membasahi ibu pertiwi.
Sang Kapten gugur di Pepedan,
Karangmoncol, Purbalingga menyusul rekan-rekanya. Mereka semua gugur jauh dari
kampung halamannya di Tanah Sunda sana mengorbankan jiwa dan raganya untuk
mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bagi Soehabi dan prajurit Siliwangi pilihannya
hanya dua, Merdeka atau Mati. Mereka pun gugur sebagai kusuma bangsa.
Itu adalah ilustrasi dari Perang Pepedan, perjuangan Pasukan
Siliwangi di Purbalingga dalam rangka mempertahankan kemerdekaan negeri ini. Saya mencoba merekonstruksi kejadian tersebut
dalam cerita rekaan di atas.
Monumen
Perjuangan Pasukan Siliwangi
Monumen Perjuangan Pasukan Siliwangi (Dokumen Pribadi) |
Lokasi dimana terjadinya perang tersebut
kini sudah dibangun sebuah monumen untuk mengenang jasa-jasa mereka. Lokasinya ada di dekat Sungai Gasong, Grumbul Jetis, Desa Pepedan, Kecamatan Karangmoncol. Tak jauh dari Jembatan Merah yang menghubungkan Pepedan-Tegal Pingen.
Bentuk
bangunanya berupa tangan mengepal, mengacung keatas, dibawahnya ada bambu runcing yang
berdiri melingkari di atas batu lonjong. Kemudian di bagian belakangnya ada relief yang
menggambarkan fragmen peristiwa tersebut.
Pada prasasti tergores tulisan sebagai
berikut :
Di
sini telah gugur sebagai pahlawan kusuma bangsa 19 orang anggota TNI AD Korps
Siliwangi, seorang anggota PMI, seorang penduduk setempat pada hari Jumat Pon, tanggal
20 Oktober 1948 dalam rangka mempertahankan Republik Indonesia.
1.
Soeparjo, Kapten
2.
Soehabi, Kapten
3.
Mahmud, Lettu
4.
Rukiman, Lettu
5.
Umar, Letda
6.
Achmad, Letda
7.
Bastomi, Letnan Muda
8.
Karyadi, Letnan Muda
9.
Muchi, Serma
10. Sulaman,
Serma
11. Iman,
Serma
12. Muhaimi,
Serda
13. Soekarjo,
Serda
14. Achmad
Badawi, Serda
15. Soeganda,
Serda
16. Tak
Dikenal, Pratu
17. Tak
Dikenal, Pratu
18. Tak
Dikenal, Pratu
19. Tak
Dikenal, Pratu
20. Tak
Dikenal, PMI
21. Sakun,
Penduduk
Nama-Nama Yang Gugur pada Perang Pepedan (Dokumen Pribadi) |
Kenapa
Siliwangi Singgah di Purbalingga
Jadi begini ceritanya. Perundingan
Belanda-Indonesia di atas kapal perang Amerika U.S.Renville pada 17 Januari
1947 menghasilkan kesepakatan dimana pasukan RI harus menarik diri dari seluruh
wilayah Belanda berdasarkan garis van Mook. Kesatuan dari pasukan-pasukan TNI
yang masih berada di daerah yang dikuasai oleh tentara Belanda akan dipindahkan
ke daerah mereka sendiri dengan membawa senjata, perlengkapan serta alat- alat
perang.
Nah, Jawa Barat merupakan wilayah
Belanda sehingga Pasukan Siliwangi diinstruksikan untuk hijrah ke wilayah
republik. Pasukan Siliwangi di Jawa
Barat mendapatkan perintah hijrah dari Jendral Sudirman melalui ”Tim
Perhubungan” yang dibentuk di Yogyakarta untuk menyampaikan perintah hijrah
secara langsung kepada panglima divisi dan komandan brigade Divisi Siliwangi.
Pasukan Siliwangi yang hijrah ke
wilayah banyumas adalah pimpinan Mayor R.A.Nasuhi yang berjalan kaki melalui
rute Kuningan - Ciamis - Gunung Slamet (termasuk Purbalingga) - Pegunungan
Dieng - Karangkobar - Banjarnegara-Wonosobo.
Pasukan Siliwangi Hijrah (Dokumen : Eramuslim.com) |
Belanda pancen licik, mereka kemudian menjalankan Operatie
Kraai yang dengan sendirinya menghancurkan Perjanjian Renville yang diteken
mereka setahun sebelumnya. Situasi itu memaksa para pejuang Siliwangi harus
menghadapi jalan ujung yang pernah disiapkan oleh Panglima Besar Jenderal
Soedirman dalam Perintah Siasat No.1 pada Mei 1948 : harus kembali bergerak ke
Jawa Barat dan membangun kembali perlawanan total di sana.
Perjalanan
panjang (long march) para maung kembali ke kampung halamannya harus
ditempuh dengan banyak pengorbanan. Bukan hanya kehilangan harta dan benda,
darah dan air mata pun harus mereka keluarkan. Sepanjang jarak 600 km, para
peserta long march harus berkawan akrab dengan kelaparan,
penyakit hingga serangan militer Belanda dan teror pasukan Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia (DI/TII).
Letnan Dua
(Purn) JC. Princen, serdadu Belanda yang membelot ke Siliwangi, melukiskan
proses long march itu sebagai perjalanan panjang yang menyiksa
hati nuraninya sebagai manusia. Di tengah perjalanan tak jarang, ia harus
menyaksikan anak-anak dan perempuan tewas terbunuh oleh bom
pesawat-pesawat yang dikendalikan teman sabangsanya.
Nah, pada
perjalanan pulang Pasukan Siliwangi inilah terjadi peristiwa di Pepedan
tersebut.
Pesawat
Cocor Merah Belanda dikerahkan dari Pangkalan Udara Wirasaba (Bukateja). Waktu
tempuh dari Wirasaba ke Pepedan sepertinya tak sampai sepenanakan nasi sehingga
ketika ada informasi telik sandi adanya gerakan Pasukan Siliwangi di Pepedan
dan pada kondisi di areal terbuka segera diluncurkan cocor merah itu untuk
menggempurnya.
Kaya kue luur. Cerita perjuangane pasukan siliwangi
nang Purbalingga. Mayuh pada meneruskan perjuangan karo pengorbanane para
pahlawan sing wis gugur mempertahankan kemerdekaan.
Merdeka!!!
Merdeka!! |
Sumber :
Kererangan
di Prasasti dan Fragmen pada Monumen Pejuangan Pasukan Siliwangi, Desa Pepedan,
Kecamatan karangmoncol
0 Response to "Perang Pepedan, Saksi Perjuangan Pasukan Siliwangi di Purbalingga"
Post a Comment