Diary Serdadu Belanda di Purbalingga (2) : Operasi Tentara di Lapangan
Seorang
Serdadu Belanda bernama Hans Gerritsen yang berdinas di ‘Bumi Perwira’ selama
agresi militer Belanda II, 1948-1950 menulis sebuah buku yang berisi catatan
hariannya selama di Purbalingga. Judul bukunya De Hinderlag Bij Sindoeradja atau Penyergapan di Sinduraja.Hans dan Rekannya Usai Patroli di Purbalingga
(Dok : Album foto P A Tazelaar di www.indiganger.nl)
Buku
itu menceritakan kisahnya mulai berangkat dari Belanda sampai di Indonesa
hingga ‘tour of duty’ nya di Bandung,
Cirebon, Salatiga, Tegal, Wonosobo, Banyumas sampai di Purbalingga. Namun,
tugasnya di Braling rupanya sangat
berkesan bagi prajurit berpangkat letnan itu.
Cerita
Hans Gerritsen sudah saya tulis dalam dua artikel sebelumnya yang bisa dibaca
di sini dan di sini.
Bukunya
Hans, menurut saya, sangat menarik dan kaya informasi kondisi Purbalingga dan
bagaimana jalannya berbagai macam konfrontasi antara militer Belanda dan
Indonesia saat itu. Gaya cerita Hans juga menarik, serupa diary, mengalir dan
ringan.
Kini,
saya kembali coba alih bahasakan dengan bantuan google translate ditambah dengan interpretasi bagian berikutnya
dari buku Sang Letnan. Kali ini, sub bagian 10 halaman 105-111 yang berjudul ‘Verrichtingen
van de Soldaten te velde’ atau ‘Operasi
Tentara di Lapangan’.
Pada
bagian ini, Hans banyak bercerita mengenai operasi tentara Belanda di
Purbalinga, curahan hati akan ketakutannya menghadapi perang sampai kisah-kisah
yang ringan seperti saat dirinya dikasih jimat atau kala Ia plesiran pas cuti.
Hans tak hanya menginformasikan bagaimana kerasnya perlawanan TNI juga tentang
banyak kalangan kita sendiri direkrut jadi mata-mata Belanda.
Begini ceritanya selengkapnya...
Bagian
10 : Operasi Tentara di Lapangan
Pada masa-masa yang kacau
dan penuh gejolak itu, kelompok penduduk Tionghoa selalu bersikap pro-Belanda.
Ada seorang anak laki-laki Tionghoa seusia saya yang kadang - kadang saya ajak
mengobrol setelah saya membeli sarung tangan di tokonya. Setiap kali sebelum
saya mau bertugas, dia meminjamkan saya sebuah cincin emas yang berharga dengan
batu delima berkilauan besar sebagai jimat. Dia bersikeras meminjamkanya. Dia
bersumpah bahwa tidak ada yang bisa terjadi pada saya selama saya memakai
cincin itu di jari saya.
Apakah itu benar-benar
jimat atau apakah itu adalah bintang bagus saya sehingga selama saya tugas selalu
saya lewati tanpa cedera? Saya tidak tahu.
Saat bertugas, seringkali
saya hanya bisa minum kopi yang baru sampai di tenggorokan saya di pagi hari
sebelum saya berpatroli atau beraksi. Ketegangan yang terus-menerus tampaknya
membuat saya gugup dalam jangka panjang, tetapi saya hampir tidak menyadarinya
pada saat itu.
Sampai suatu ketika
seorang dokter militer yang memeriksa berkeliling kepada kami. Ia menilai sudah
saatnya saya istirahat.
"Letnan, kamu sangat
kurus, apakah kamu baik-baik saja?" dia bertanya padaku.
“Tidak ada yang salah
dengan saya dan saya merasa baik-baik saja. Kita semua mungkin terlihat sedikit
kurang cerdas, tetapi apa yang Anda inginkan ketika Anda harus bertindak hampir
setiap hari. Kami sedang menyeret diri kami sendiri”
Ucapan saya itu ternyata berakibat
sesuatu. Dia mengirim saya dengan cuti empat belas hari ke Bandung di Jawa
Barat.
Saya menghabiskan beberapa
hari di Cheribon. Saya pergi ke sana dengan kereta api dengan lokomotif uap
berbahan bakar kayu. Dengan seragam penuh lubang karena terbakar dari percikan
api yang meledak, saya bertemu dengan kakak laki-laki saya, yang ditempatkan
ditugaskan di suatu pos terdepan. Sudah sekitar empat tahun sejak terakhir kali
saya melihatnya. Pada awal 1946 dia sudah pergi ke Hindia Belanda sebagai
karyawan OVW. (Tidak dijelaskan apa itu OVW, mungkin nama pabrik milik Belanda
di era kolonial)
Setelah beberapa hari di
Cheribon saya menyerah / bosan, kemudian saya bepergian dengan kereta api ke
Bandung yang tinggi di pegunungan. Di sana, ada sebuah pusat cuti militer yang biasa
biasa disebut dengan nama "Prajurit yang Beristirahat". Saya
menghabiskan sisa waktu untuk mengatur napas, refreshing.
Betapa indahnya bisa tidur
di tempat tidur biasa dengan seprai dan tanpa kelambu. Itu luar biasa sejuk dan
bebas nyamuk.
Dari Bandung saya
melakukan beberapa perjalanan di daerah itu bersama dengan seorang perawat
pirang baik yang saya temui di sana secara kebetulan. Antara lain, kami
mengunjungi sebuah resort liburan di Lembang. Kami juga pergi lebih jauh ke
kawah gunung berapi Tangkoeban Prahoe.
Saya pikir itu mengesankan
melihat semua gelembung dan gelembung udara dan awan uap besar dari kawah di
bawah sana. Dia memberi tahu saya bahwa bisa jadi mayat jika turun ke kawah
tanpa pemandu, jadi kami duduk di tepi di atas rumput, melihat dan berbicara.
Betapa senangnya bisa
berbicara lagi dengan Gadis Belanda yang baik itu tentang apa saja. Itu sangat
membantu dan menyenangkan buat saya. Sore harinya, kami ke bioskop berdua
dengan mengendarai Betjah, salah satu
ojek roda tiga itu.
Cuti minggu itu di
lingkungan yang aman merupakan berkah bagi jiwa dan raga. Saya ingin memakan
waktu lebih lama sejauh yang saya ketahui. Bagaimanapun, senang mengetahui
bahwa ada dunia lain di Jawa yang bergejolak itu, dunia tempat gadis-gadis
pirang manis tinggal dan di mana Anda juga bisa menjalani kehidupan yang agak
normal, tanpa terus-menerus waspada.
(Enak ya Tentara Belanda.
Bisa dapat cuti, jalan-jalan, sambil pacaran lagi... hehe)
Begitu kembali lagi ke
Poerbolinggo, saya segera mendapati diri saya dalam kesibukan sehari-hari dalam
patroli dan aksi berbahaya.
Pada tanggal 30 April 1949, sebuah pawai diadakan di Poerbolinggo dalam rangka Ulang Tahun Ratu. Itu juga dimaksudkan untuk menunjukkan kepada penduduk lokal kekuatan militer kita yang besar. Semuanya diseret (diikutsertakan) ke dalamnya dan ketika prosesi iring-iringan itu melewati jarak yang sangat jauh, di belakangnya masih terlihat banyak.
Selain dua peleton KL
kami, ada satu peleton KNIL, satu divisi dari polisi daerah (Polisi lapangan yang
terdiri dari orang pribumi di bawah otoritas Belanda), satu kelompok Pao An Tui
(Penjaga Sipil Cina) dan beberapa kesatuan artileri dari 2-12 RVA di dalamnya. Sejumlah
tentara angkatan udara (LSK) naik mobil artileri tersebut.Parade Militer Belanda di Purbalingga 30 April 1945 (Dok : www.indiganger.nl)
Catatan
:
KL adalah
Koninklijke Landmacht, Angkatan Darat
Belanda. Kesatuan ini biasanya berisi tentara asli Belanda.
KNIL
adalah Koninklijke
Nederlands(ch)-Indische Leger, Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Kesatuan
ini banyak diisi oleh pribumi dari berbagai suku.
Po An Tui
adalah pasukan para militer yang dibentuk oleh Komunitas Tionghoa. (Tentang Po
An Tui bisa dibaca artikel di wikipedia disini dan historia di sini).
RVA
adalah Regiment Veldartillerie. Resimen
Artileri Medan
LSK
adalah Luchtstrijdkrachten. Pasukan
Perang Udara Belanda. Untuk di Purbalingga basis mereka di Pangkalan Udara
Wirasaba.
Untuk kesempatan kali ini,
kami telah meminjam Amerikaanse
Binnenhelmen atau Helm Tempur Amerika’ dari KNIL agar terlihat seperti berperang.
Itu adalah pertama dan satu-satunya waktu di Hindia-Belanda kami memakai helm, sebab
kami tidak memilikinya. Untuk melengkapi pesta pora, pertandingan sepak bola
bersama yang diadakan setelah parade. Team dari Po An Tui, penjaga sipil Cina
muncul sebagai pemenang.
Sore harinya mereka (Po An
Tui) mengundang kita untuk makan bersama dengan guru lingkungan Tionghoa (Ketua
Komunitas Tionghoa setempat). Di rumah batunya yang mewah, berhalaman terbuka
dengan kolam dan patung, kami ditawari makan malam enam menu yang mewah.Pertandingan Sepakbola ala Belanda di Purbalingga, 1949 (Dok : www.indieganger.nl)
Catatan :
Saat itu Komunitas
Tionghoa di Purbalingga sudah cukup banyak. Mereka dipimpin oleh seorang opsir.
Baca : Gan Tian Koeij, Opsir Tionghoa Pertama di Purbalingga, di sini
Pesta itu berlangsung
berjam-jam, setiap kali orang harus istirahat, merokok, dan bercakap-cakap.
Saya ingat diberi makan 'tripang' (zeekomkommer);
Itu membuat saya menggigil, saya hampir tidak bisa mengeluarkan zat licin itu
melalui tenggorokan saya dan saya harus sangat berhati-hati untuk tidak muntah.
Pada Whit Monday (Hari Pantekosta Kedua, salah satu hari libur umat kristiani), 13 Mei 1949, pemboman terjadi di Poerbolinggo dan di dekat Rumah Sakit Trengilling. Itu tidak berarti banyak. Beberapa tembakan jatuh dari atas Kali Serajoe dan di sana-sini beberapa rumah terbakar. Namun, kami kekurangan tenaga kerja untuk dapat bertindak secara efektif melawan pembakaran. (Cerita Rumah Sakit Trenggiling bisa dibaca di sini)
Hari-hari berikutnya kami
menjadi cukup sibuk, pergerakan patroli di sekitar Poerbolinggo semakin
intensif. Itu berlangsung siang dan malam. Pasukan kami sekarang secara teratur
disergap di dekat rumah sakit. Garnisun kami di Poerbolinggo diberi sebuah
mobil lapis baja sebagai tambahan kekuatan.
Sersan Wim van de Berg
secara teratur melakukan tur inspeksi ke rumah sakit pada malam hari dengan
pembawa pengirimannya. Suatu malam dia tiba-tiba ditembak dengan kekerasan di
dekatnya. Di luar gelap gulita. Dalam huru-hara yang dibuat, dia berhasil memukul
balik penyerangnya. Ketika dia memeriksa kendaraannya keesokan harinya Ia
melihat ada sesuatu yang salah dengan mobilnya, dia menemukan tangan berwarna
coklat berdarah terjepit di antara 'rel'.
Wim benar-benar memiliki
saraf baja. Itu pasti tidak menyenangkan harus berpatroli di jalan yang sempit
dan padat di kedua sisi, meski ditemani beberapa orang lainnya karena
mengetahui bahwa daerah itu penuh dengan pasukan TNI. Dalam retrospeksi, saya
pikir itu seharusnya menjadi tipuan kecil bagi musuh untuk melemparkan granat
tangan ke kendaraan yang terbuka karena kendaraanya besar dengan gemeretak dan
gerinda bisa terdengar dari jauh.
Sejak penembakan
Poerbolinggo itu, sering terjadi kejadian serupa pada malam hari. Rumah dan
sekolah dibakar di setiap kesempatan. Kami benar-benar tidak berdaya karena
kebakaran itu terjadi hampir bersamaan di berbagai tempat di kota dan para
pelaku pembakaran tidak dapat dilacak.
Pada tanggal 1 Juni 1949,
aksi gabungan terjadi, bersama dengan 5-Grenadier. Sasarannya adalah kampung
Kertanegara, sekitar sepuluh mil sebelah timur Bobotsari, tempat musuh berada. Setidaknya
kami sudah menerima informasi itu dari MID (Militarire
Inlichtingendienst).
Pekerjaan intelijen di
Poerbolinggo dipimpin oleh seorang Kopral KNIL, seorang Belanda, yang memiliki
sejumlah mata-mata, kebanyakan pembelot TNI yang bekerja untuknya. Bagi saya
itu adalah pekerjaan gelap, dimana para tahanan diuji, disiksa dan dipaksa
untuk mengaku dengan cara 'ahli'.
Saat aksi itu, Dr.
Wassman, dokter batalion kami, ikut beraksi. Dia ingin mengalami hal seperti
ini sendiri. Ia mengatakan, 'untuk dapat
berpartisipasi dalam aksi para prajurit di lapangan dari pengalamannya
sendiri'.
Nah, orang baik itu tahu.
Saat mengarungi Kali Moeti, seorang prajurit tiba-tiba ditembak. Dia hanya
berada di tengah-tengah saat itu terjadi, tapi dia tahu singkat tentang itu. Sebag,
dengan sangat sadar, dia bertanya kepada salah satu prajurit: 'Katakan padaku penembakan
itu, aku tidak tahu persis bagaimana hasilnya dan membayangkan bahwa Ia
membutuhkanku segera’.
Sesampai di Kertanegara tidak ada jejak musuh, kami berbalik lewat jalan belakang karena kami punya kecurigaan yang kuat bahwa TNI ada, sudah berkumpul di belakang kami dan akan berbaring dan bersembunyi. Kami beruntung tidak ada prajurit yang terluka serius hari itu.
Kemudian, dalam sebuah
aksi di barat daya kota pada tanggal 7 Juni 1949, seorang prajurit KNIL dari
Gadjah Merah, sebuah unit KNIL yang, kesaruan 5-Grenadiers, tewas. Pasukan Gadjah Merah baru datang untuk
memperkuat pasukan di Jawa Tengah dari pulau Bali dan sampa ke Poerbolinggo. Mereka
di bawah komando seorang perwira profesional KNIL. Letnan Frenks. Patroli Belanda di Purbalingga (Dok : www.indieganger.nl)
Kami berjalan melalui dalam
dua baris. Kedua peleton kami mengikuti rute selatan sedangkan detasemen Gadjah
Merah (Gajah Merah) lebih ke utara.
Tiba-tiba para prajurit
KNIL ditembak oleh musuh dari sebuah pemakaman adat di suatu tempat dekat Kampung
Karangtengah. (Saat ini Desa Karangtengah ada di Kecamatan Kemangkon). Pada
satu titik kami mendengar tembakan senapan mesin yang berlarut-larut dan tahu
pada saat itu bahwa mereka telah mengalami hambatan. Namun, kami terlalu jauh
untuk memberikan bantuan.
Kami menyadari dengan
sangat baik bahwa itu adalah baku tembak yang sengit dan itu terbukti ketika
kami kembali ke Poerboelinggo. Tembakan senapan mesin yang mereka terima begitu
hebat sehingga mereka mundur dan meninggalkan seorang prajurit yang tewas.
Keesokan harinya kami
harus pergi dan mengambil jenazah anak itu. Kami menyaksikan dengan mata kepala
sendiri. Jalan menuju Poerwokerto dekat Kalimanah dikotori bendera merah putih
yang ditinggalkan semalam di situ. Kabel telepon telah dipotong dan tiang
telepon ditarik ke bawah. Kami terkesima dengan banyaknya pengrusakan yang
dilakukan oleh TNI. Slogan propaganda ada di mana-mana. Rupanya mereka telah menaklukan
wilayah itu semalam.
Ketika kami menemukan
prajurit yang hilang di suatu tempat di sawah, tubuhnya sudah dalam keadaan
terdekomposisi / membusuk. Hal seperti itu terjadi sangat cepat di iklim yang
hangat dan lembab seperti di Jawa. Tubuhnya dimutilasi secara mengerikan diikat
ke tiang bambu yang kokoh dengan tali senapan. Setelah kami merapikan
jenazahnya, kami berangkat untuk mundur.
Kami mengikutinya dalam jalan
yang panjang. Setiap kali aroma amis, udara sakit bertiup ke arah kami. Lebih
buruk lagi, hujan juga mulai turun, mula-mula pelan dan mantap, belakangan
makin deras. Akhirnya turunlah hujan tropis yang panjang. Kami basah kuyup.
Dua orang laki-laki pribumi
telah diambil dari kampung dan dipaksa untuk membawa jenazah tersebut. Mereka
membawa jenazag sambil berjalan dengan daun pisang besar memanjang seperti rain screens di atas kepalanya. Hujan
hangat menghujani kami dengan tetesan air yang tebal.
Aku masih bisa melihat
dalam terbayang dalam pikiranku, dua petani lusuh yang basah kuyup dengan
celana hitam pudar dan usang. Mereka berjalan melewati lumpur coklat berminyak
dan genangan air, sementara hujan turun deras. Sebuah perjalanan mengerikan
kembali ke Poerbolinggo, yang memakan waktu beberapa jam. Itu akan selamanya
diingat, bukan hanya karena mutilasi yang mengerikan tetapi juga karena awan
gelap yang mengancam itu, hujan lebat itu, lumpur yang berantakan dan aroma amis
yang menjijikkan itu. Air jatuh dari langit hitam pekat. Itu adalah salah satu
tugas paling suram yang harus kami lakukan di sana.
Peristiwa mengerikan itu
selalu menyertai saya, juga karena apa yang terjadi pada saya beberapa hari
kemudian. Tapi itu milikku sendiri tanpa ada kedua petani itu. Adalah sebuah kebodohan.
Saat itu, ada yang tidak
beres saat patroli malam di suatu tempat di selatan Poerbolinggo. Rupanya saya
terlalu bersemangat mencari rumah-rumah kampung. Pada satu titik saya ketinggalan
berhubungan dengan pasukan lainnya. Malam gelap gulita, yang lain tidak mencariku.
Tanpa diduga, saya sekarang sendirian di kampung yang sepi. Itu pertanda buruk
bahwa penduduk telah melarikan diri dan sesuatu mungkin sedang terjadi. Jelas Itu
bukan pertanda baik.
Sekarang, saya tidak tahu
di mana saya berada, saya tidak bisa lagi menyesuaikan diri. Rasa panik
mencekamku, jantungku berdebar kencang. Saya memikirkan prajurit KNIL yang
dimutilasi itu dan perasaan putus asa menyelimuti saya. Saya bisa mengutuk diri
sendiri karena tidak memperhatikan, tidak waspada lebih banyak.
Saya mencoba tetap tenang,
saya terus camkan di kepalaku, sebab jika tidak, kamu akan habis malam ini. Pada
sekelilingku aku mendengar kicau jangkrik dan dengung serangga. Saya
mendengarkan dengan sangat hati-hati untuk melihat keadaan, apakah selain suara
malam di negeri tropis yang familier itu, saya mungkin menemukan sesuatu yang
menunjukkan keberadaan manusia. Namun, tidak satupun dari itu. Maka, dengan
putus asa, saya mencoba mengingat dari arah mana kami berasal. Itu adalah hal
yang sangat sulit dalam kegelapan total. Saya tidak punya tengara apa pun.
Kemudian saya mendengar
samar-samar di kejauhan mendengar langkah kaki. Saya ragu. Apakah itu hanya
suara diri saya. Saya tidak yakin saya benar, tetapi saya harus melakukan
sesuatu. Lebih sembarangan dari apa pun, saya berlari dengan sepatu bot hutan
baru saya yang saya pasang oleh pembuat sepatu Cina beberapa hari sebelumnya,
karena operator kami kehabisan sepatu.
Saya beruntung. Mungkin
itu intuisi, mungkin kebetulan, tapi aku menemukan jalan kembali ke orang lain.
Setelah satu menit atau lebih, saya berhasil sampai di barisan belakang kami.
Ketika saya melihat bayangan di depan saya di jalan kampung yang sempit, saya
berseru pelan, "Ini saya, jangan tembak.". Saya takut jika mereka
mengira aku musuh.
Saya menyadari, ironisnya,
tidak ada yang merindukanku sampai saat itu. Tidak ada yang mencariku. Namun,
saya sangat senang bisa bertemu kembali dengan rombongan patroli.
Itu adalah saat-saat yang
menakutkan, tetapi itu adalah pelajaran yang baik bagi saya. Saya membuat
komitmen serius untuk memberi perhatian lebih mulai sekarang, terus waspada dan
mengawasi orang lain dalam segala keadaan.
-o-
Begitu kira-kira lur catatan serdadu landa nang Purbalingga... menarik mbok??
Ahai serr....
Sumber : Buku De Hinderlag Bij Sindoeradja, karya Hans Gerritsen, Baarn, Holandia, 1987. Special thanks to Torik Juned Bawazier di Amsterdam yang sudah mengirimkan buku tersebut.
0 Response to "Diary Serdadu Belanda di Purbalingga (2) : Operasi Tentara di Lapangan"
Post a Comment