RMTA ARYO SOEGONDO, BUPATI PURBALINGGA TIGA JAMAN
RMTA Soegondho dan Istri (Dok : Digital Collection Leiden Univesity Libraries) |
Kalimat
tersebut menjadi sebuah judul sebuah foto ber-tone sephia koleksi dari Leiden
Universty Libraries. Tampak pasangan bangsawan dengan pakaian adat lengkap
pada foto bertarikh 1930. Kreator foto tersebut disebutkan O. Hisgen & Co, Semarang.
Mereka
adalah Raden Mas Tumenggung Ario (RMTA) Soegondho dan istrinya, pasangan orang
nomor satu di Bumi Perwira kala itu. ( Selanjutnya ditulis dengan Aryo Sugondo).
Bangsawan keturunan Eyang Arsantaka itu adalah Bupati Purbalingga pada 1925 sampai dengan
1949.
Aryo
Sugondo memimpin Kabupaten Purbalingga di era yang penuh pergolakan. Ia
mengalami tiga jaman sekaligus, yaitu, era Kolonial Belanda, berganti dengan Penjajahan
Jepang kemudian era awal kemerdekaan yang penuh gejolak.
Ia merupakan
Bupati Purbalingga ke-10, menggantikan bapaknya KGPAA Dipokusumo VI GSOON, yang
memerintah Purbalingga selama 25 tahun (1899 – 1925). Dipokusumo VI memilih berhenti
bukan seperti layaknya pemimpin tradisional karena meninggal tetapi karena
pension, sebab, Dipokusumo VI adalah juga seorang amtenaar alias pegawai negeri Pemerintah Hindia Belanda. Gelar di
belakangnya GSOON adalah penghargaan bintang jasa dari pemerintah Hindia
Belanda.
KGPAA Dipokusumo VI ( Dok : www.purbalinggakab.go.id) |
Pada masa
pemerintahannya, wilayah Purbalingga dibagi menjadi tiga kawedanan, yakni Kawedanan Purbalingga yang meliputi Kecamatan
Purbalingga, Kutasari, Kalimanah, Kaligondang dan Kemangkon. Kawedanan
Bobotsari, meliputi Kecamatan Bobotsari, Mrebet, Karanganyar dan Karangreja dan
Kawedanan Bukateja yang membawagi Bukateja, Kejobong, Karangmoncol dan Rembang.
Catatan
:
Sedikit
sekali foto-foto yang mengambarkan tokoh dan situasi Purbalingga pada era
lampau. Apalagi sebelum kemerdekaan, pasca 1945 saja susahnya pakai banget.
Saya mencari-cari foto Tugu Bancar versi asli yang berdiri tahun 1958 saja
sampai sekarang belum nemu-nemu. Kalau mau cari foto sejarah lampau jangan
mengandalkan situs lokal, berselancarlah ke situs-situs Belanda, arsip mereka
cukup rapi.
Dua Kali Menjadi ‘Bupati Kembar’
Aryo
Sugondo mewarisi kepemimpinan di akhir era kolonial Belanda. Kemudian,
datanglah Jepang yang bercokol di negeri ini. Pada kedua era itu kedudukannya
sebagai bupati tak terusik.
Pada
era kolonial, Ia tetap sebagai pemimpin tradisional berdasarkan garis keturunan
/ trah, sementara Pemerintah Hindia Belanda menempatkan seorang asisten resident, pejabat setingkat
bupati, untuk menangani administrasi pemerintahan. Assisten resident biasanya adalah orang Belanda asli dengan masa
jabatan periodik.
Apa
itu asisten resident bisa dibaca di artikel ini. Link : https://www.igosaputra.com/2020/04/jejak-schmalhausen-keponakan-karl-marx.html
Anggota Regentschapraad 1929, Tampak RMTA Sugondo di Tengah (Dok : Banjoemas.com) |
Link : https://www.igosaputra.com/2020/05/jejak-regentschaps-raad-dewan-kabupaten.html
Ketika
Indonesia merdeka dan terjadi pergolakan pasca kemerdekaan, kedudukan Aryo
Sugondo sebagai bupati dua kali ‘terusik’. Posisinya ‘dikembari’ tak hanya
sekali, sampai dua kali. Ini unik menurut saya. Jadi, Purbalingga pernah dua
kali memiliki dua orang bupati alias bupati kembar.
Bupatine loro luur, pidho maning.. unik
ora..? Unik mbok.. hehe.
Pertama,
setelah proklamasi kemerdekaan dan terbentuk pemerintahan Republik Indonesia,
tiba-tiba pemerintah pusat menunjuk seorang pejabat Karesidenan Banyumas, Mas
Soeyoto sebagai bupati. Namun, Aryo Sugondo juga tak dilengserkan. Jadi
keduanya sama-sama sebagai bupati.
Mas
Soeyoto menjabat bupati sampai pertengahan 1947. Lalu, Aryo Sugondo menjadi
bupati kembali.
Kemudian,
saat berlangsung Agresi Militer Belanda II, 1948-1949, posisi Aryo Sugondo
sebagai bupati ‘dikembari’ lagi. Pada situasi genting dan Purbalingga diduduki
Belanda, Aryo Soegondo mengungsi ke Candiwulan. Pemerintah RI saat itu menunjuk
patih, Raden Mas Kartono yang sedang bergerilya sebagai Bupati.
Sementara,
Belanda yang sudah menguasai Purbalingga tetap mengakui Aryo Sugondo dan memanggilnya
kembali ke Kota Purbalingga untuk menjabat sebagai Bupati RECOMBA (Regeerings
Commissie voor Bestuurs Aangelegenheden) atau Komisi pemerintah
urusan pangreh praja.
Pada
catatan daftar Bupati Purbalingga yang dipublikasikan di Wikipedia, Mas Soeyoto
diakui sebagai bupati ke 11 dan Raden Mas Kartono bupati ke 12.
Setelah
agresi berakhir, Belanda pergi dari Indonesia pada akhir 1949, RMTA Sugondo merasa
kian tertekan karena sebagai bupati, sebab tak diberi kekuasaan layaknya
bupati.
Akhirnya,
Aryo Sugondo mengajukan pengunduran diri dan tak lama kemudian meninggal pada
31 Desember 1949. Sebagai keturunan Arsantaka, Ia dimakamkan di Astana Giri
Cendana. (Berdasarkan keterangan Mas Budi, Ketua Yayasan Arsakusuma makamnya di Astana Giri Purba, sebelahnya Giri Cendana).
RMTA
Sugondo menjadi bupati terakhir yang dipilih berdasarkan keturunan / trah dari
pendiri Purbalingga, Ki Arsantaka. Selanjutnya, bupati tak lagi berdasarkan
keturunan, namun ditunjuk pemerintah pusat, kemudian dipilih oleh DPRD pada era
Orde Baru dan dipilih langsung sejak era reformasi.
Sumber
:
Koleksi
Digital Leiden University Libraries
Artikel
https://suaraperwirapurbalingga.wordpress.com/tentang-purbalingga/
Artikel
https://www.purbalinggakab.go.id/v1/bupati-purbalingga-dari-masa-ke-masa/
Artikel
https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Bupati_Purbalingga
0 Response to "RMTA ARYO SOEGONDO, BUPATI PURBALINGGA TIGA JAMAN"
Post a Comment