Serdadu Belanda, Gunung Slamet dan Ramalan Jayabaya
De Slamat in Werking Poerbolinggo : Gunung Slamet yang Sedang Aktif. (Dok : Album Foto PA Tazelaar di www.indieganger.nl) |
Adalah Letnan Hans Gerritsen, serdadu itu. Ia menulis
sebuah buku berjudul De Hinderlag Bij Sindoeradja yang
berisi catatannya berdinas di nusantara, termasuk Purbalingga, selama kurang lebih 3 tahun.
Hans banyak menceritakan Gunung Slamet. Kemudian, P.A
Tazelaar, rekannya pun banyak memotret gunung legendaris itu.
Foto di atas adalah salah satu jepretan Tazelaar tentang gunung itu. Pada gambar tersebut jelas terlihat gunung yang pada jaman Hindu-Budha dikenal dengan Gunung Agung itu tengah aktif. Ada kepulan asap di atas gunung tersebut yang cukup besar. Berdasarkan penelusuran aktivitas vulkanologi, pada 1949, Gunung Slamet memang erupsi cukup besar.
Foto tersebut cukup langka. Saya baru melihat dari sumber ini saja tentang erupsi Gunung Slamet di tahun 1949.
Sebenarnya ada beberapa foto lagi koleksi Tazelaar tentang Gunung Slamet, sayangnya banyak yang ngeblur. Salah satu yang cukup jelas di bawah ini, keterangannya : het terrein voor het gebouw van het kamp in poerbolinggo, artinya, pemandangan di depan kamp di Poerbolinggo.
Pada Bukunya di Bab 8 : Patroullies, Hinderlagen en Acties atau Patroli, Penyergapan dan Aksi, Hans mengawali dengan menceritakan kondisi operasi di tengah aktifnya Gunung Slamet.
Begini cerita Sang Letnan Belanda dalam bukunya :
Pada
periode ini, hingga gencatan senjata pada pertengahan Agustus 1949, merupakan
rangkaian patroli, penyergapan dan aktivitas tempur lainnya yang masif. Seiring
berjalannya waktu, kami menghadapi tentangan yang semakin meningkat.
Kami
beroperasi di wilayah di selatan Gunung Slamet, gunung berapi yang masih aktif,
pemandangannya mendominasi lanskap. Saat kami melakukan perjalanan melalui
persawahan atau menyusuri jalur kampung di kaki lereng gunung, kami terkadang
tiba-tiba dikejutkan oleh gerimis abu vulkanik halus yang berputar-putar di
atas kami dan menutupi seluruh lanskap dengan lapisan tipis bubuk abu vulkanis.
Itu seperti salju yang mengapung kotor.
Kadang-kadang
kami merasakan gempa bumi yang sangat ringan, tetapi itu tidak begitu penting.
Gumpalan uap menggantung di atas puncak gunung berbentuk segitiga simetris
hijau megah yang menonjol tajam di cakrawala. Keindahan alam dengan kemegahan
yang luar biasa.
Semakin
tinggi Anda di kaki lereng, semakin subur dan murni vegetasi itu dan semakin jelas
pemandangan itu terlihat kepada kami. Meskipun dapat dimengerti bahwa kami
tidak terlalu memperhatikan hal itu pada saat itu, namun, hal itu masih memengaruhi
kami. Pemandangan itu tersimpan dalam ingatan kita.
Itulah
sebabnya mengapa begitu banyak mantan tentara di tahun-tahun berikutnya ingin
kembali lagi. Segalanya tampak begitu damai dan indah. Pegunungan, sawah hijau
dengan fitur air berkilauan di bawah sinar matahari yang cerah, ladang jagung,
kampung-kampung di bawah pohon kelapa yang tinggi, vegetasi dalam segala nuansa
hijau.
Kemudian,
Orang Jawa yang selalu ramah dan penurut dengan pakaian mereka yang didominasi
sarung warna-warni.
Akan
tetapi penampilan bisa menipu : tampak tenang diatas tetapi bergemuruh di bawah.
Situasi
di Poerbolinggo sendiri keadaan relatif sepi selama ini, kecuali untuk beberapa
kasus pembakaran sporadis ketika gencatan senjata akan disepakati. Kondisi di
kota, kehidupan berjalan dengan sendirinya. Tidak ada tanda-tanda permusuhan di
sana. Akan tetapi begitu, segera setelah kami mengambil beberapa ratus langkah
di luar gedung, ternyata itu salah.
-0-
Selain mengenai Gunung Slamet, Hans juga mempelajari Budaya Jawa, bahkan dia tahu tentang Ramalan Joyoboyo / Jayabaya yang legendaris. Ramalan atau Jangka Jayabaya menurut cerita ditulis oleh Jayabaya, seorang Raja Kediri yang berkuasa pada abad ke-12. Nubuat itu populer di masyarakat Jawa dan dipercaya banyak terbukti kemudian. Salah satunya, tentang datang dan perginya penjajahan di nusantara, kemudian lahirnya Ratu Adil. Hans juga memahami bagaimana Soekarno memanfaatkannya untuk membangkitkan persatuan dan harapan rakyat Indonesia.
Ilustrasi Jayabaya (Dok : Jatim Times) |
Di
seberang jalan di seberang markas staf mengalir Kali Serajoe yang luas dan
megah, sungai yang memainkan peran besar dalam semua jenis legenda Hindu-Jawa
kuno. Yang paling terkenal adalah yang terkait dengan lenyapnya pemerintahan
kolonial kulit putih : legenda pangeran yang saleh, 'Ratu Adil'.
Dalam
kitab nubuatan Hindu tentang Djojobojo, yang dicatat oleh seorang suci dari
Panjalu pada pertengahan abad ke-12, terdapat bagian berikut :
“Pada
hari-hari ketika kereta bergerak tanpa kuda dan digantung di bumi, lalu orang
kulit putih akan tinggal di Jawa. Orang kulit putih ini akan dipenjara oleh
orang kulit kuning. Orang kulit putih akan menderita, tapi nanti mereka akan
dibebaskan. Orang - orang cebol kuning [Orang Jepang] akan pergi, setelah itu
masa-masa buruk. Kali Serajoe kemudian akan menjadi merah darah, tetapi waktu
yang lebih baik akan datang, ditandai dengan panen yang melimpah. Kemudian, Kerbau Putih [Orang Kulit Putih] juga akan
kembali ke kandangnya”
Tidak
diragukan lagi, Sukarno akan melihat dirinya sebagai 'pangeran yang saleh' dan
Orang Jawa yang sederhana akan memikirkannya juga
-0-
Salah satu yang membuat salut orang Belanda adalah
kemauan belajarnya. Hans, hanya 3 tahun di nusantara, termasuk di Purbalingga,
namun catatannya lengkap. Ia pun banyak bejalar tentang sejarah, kondisi sosial
dan budaya tempat yang dikunjunginya.
Buku Hans sangat kaya dan banyak memberikan informasi
bagaimana kondisi di Indonesia dan Bumi Perwira khususnya saat perang
kemerdekaan.
Tulisannya saya yang berdasarkan buku Letnan Hans
sebelumnya bisa dibaca di sini, di sini,
di sini, di sini dan di sini
Sumber :
Buku
De Hinderlag Bij Sindoeradja, karya
Hans Gerritsen, Baarn, Holandia, 1987. Special
thanks to Torik Juned Bawazier di Amsterdam yang sudah mengirimkan buku
tersebut.
0 Response to " Serdadu Belanda, Gunung Slamet dan Ramalan Jayabaya"
Post a Comment