MAS PIRNGADIE, MAESTRO PELUKIS DARI PURBALINGGA
Mas Pirngadie (Dok : www.museumnasional.or.id) |
Wajah-wajah dalam lukisan itu sangat hidup dan detail. Hampir-hampir seperti foto berwarna. Semakin terasa nyata karena dilengkapi dengan aksesoris dan pakaian adat suku bangsa masing-masing. Koleksi bersejarah itu dibuat pada era kolonial Hindia Belanda, pernah dipamerkan di Paris pada 1931 dan kemudian dipajang sejak 1935 di Museum Nasional.
Pelukis karya monemental itu adalah Mas Pirngadie. Ia adalah seorang pelukis aliran mooi indie yang diakui di level nasional, bahkan dunia. Selain pelukis, Ia juga seorang etnografis dan ilustrator handal, karyanya berupa 5 jilid buku tentang seni kerajinan tangan di Nusantara menjadi masterpiece yang sukar disamai hingga kini.
Siapa sangka jika pelukis dan ilustrator hebat itu adalah putra Bumi Perwira. Mas Pirngadie ternyata asli Purbalinga. Ia lahir pada 1878 di Desa Pakirangan (Pekiringan) saat ini di Kecamatan Karangmoncol, Purbalingga.
Pada sebuah lukisan yang terpajang di rumahnya di Batavia, Pirngadie menggambarkan tanah kelahirannya yang molek. Saat ditanya Sutan Takdir Alisjahbana (S.TA), penyair yang juga sahabatnya lukisan tentang apakah itu, Pirngadi menjelaskannya, S.T.A kemudian dalam artikel di Majalah Pudjangga Baroe 1934, disebutkannya demikian :
“Menurut gambar cat minyaknya yang besar memberat di ruang makan dalam rumahnya adalah tempat kelahirannya itu daerah perbukitan, tempat padi menguning sejauh mata memandang, dialiri anak sungai yang deras dan jernih berbatu-batu. Jauh tersembunyi tampak desa-desa ditengah emas megombak, dikerumuni pohon kelapa dan rimba. Di sebelah utara, padu berbaris Gunung Lawet laksana tembok tinggi yang maha perkasa”.
S.T.A adalah sahabat kental sekaligus pengagum Pirngadie. Ia sampai 3 jilid menuliskan biografi dan ulasan karya-karya Pirngadie dalam Majalah Pudjangga Baroe. Berikut ini adalah nukilan biografi pelukis hebat dari Pekiringan itu yang ditulis oleh Pujangga besar negeri ini dan sumber lainnya.
Lukisan Mas Pirngadie tentang Tanah Kelahirannya (Dok : FB Notes MJA Nashier) |
Darah seni yang mengalir dalam diri Pirngadi berasal dari ayahnya Mas Mertojoedo, seorang petani namun juga ahli ukir serta pandai emas dan perak. Namun, Pirngadie tak pernah menerima pelajaran seni dari ayahnya, sebab sudah meninggal dunia ketika Ia masih berusia lima tahun. Sepeninggal bapaknya, Pirngadie sudah mulai mengembara.
Pada mulanya, Ia diasuh adik dari ibunya, Haji Mochammad Tahir, ulama dan penghulu di Desa Pekiringan. Pirngadie pun dibekali ilmu agama dari ayah angkatnya itu dan berharap Ia akan menggantikanya. Namun, pada usia tujuh tahun, Pirngadie diadopsi oleh sepupunya (putra kakak ayahnya), Mas Joedodimedjo, seorang pegawai kadaster/ pertanahan di District Bukateja. Ia pun menyekolahkan Pirngadie dengan harapan bisa menjadi seperti dirinya.
Ketika Mas Joedodimejo pindah tugas ke beberapa kota lain Pirngadie pun turut serta. Pertama ke Magelang, lalu ke Sukabumi, Jawa Barat. Saat di Sukabumi Ia juga belajar di Frobelschool Mejuffrow H.Brox. Tak lama di Sukabumi, pindah ke Bandung. Di kota kembang, Pirngadie selain sekolah juga masuk externenschool dan sore hari belajar Bahasa Belanda pada H. Falk.
Mas Pirngadie (Dok : Facebook Notes MJA Nashier) |
Pekerjaannya sebagai kadaster secara langsung membekali dirinya akan kemampuan pada hal-hal yang sifatnya detil, rumit, bahkan matematis karena tuntutan ketepatan. Kelak itu semua menjadi kekuatan bagi karya-karya gambarnya. Begitu juga menurut H. van Meurs dalam tulisannya tentang Mas Pirngadie, "A Javanese Artist Painter" di majalah Sluyters' Monthly :
"Ketika Pirngadie berusia 12 tahun dia telah mulai bekerja di kantor kadaster, dan saat mendesain peta di sini dia mengalami pertama kalinya pegang cat dan kuas. Seandainya dia mengambil pekerjaan lainnya selain ini maka bakatnya sebagai pelukis mungkin tak kan pernah mempunyai latar belakang. Maka inilah sisi penting dari pekerjaan kadasternya; meskipun secara alamiah bukanlah sesuatu yang penting bahwa sebagai dasar pertama dia banyak belajar tentang menggambar dan melukis secara mekanis. Tentu saja dengan pekerjaan yang selalu menekankan ketepatan matematis ini tiada ruang bagi inspirasi artistik."
Sebagai pegawai kadaster, pertama Ia ditugaskan di Cicalengka Jawa Barat kemudian pindah tugas ke Pasuruan, Jawa Timur.
Jiwa seni Pirngadie tak terkungkung rutinitasnya. Pada waktu-waktu senggang ia manfaatkan perangkat penggambar petanya untuk meniru-niru gambar dan membuat sketsa wajah teman-temannya.
Sekitar 1900, Mas Pirngadie bertemu dengan Freiherr Otto Carl von Juncker Bigatto, pelukis berkebangsaan Jerman yang kemudian mengenalkanya pada seni menggambar dengan cat. Sejak itu, Ia menekuni dunia lukisan dan memang sangat berbakat. Baru setahun menggeluti dunia itu, pada Agustus 1901, Ia sudah berani mengirimkan lukisan-lukisan cat airnya ke pameran seni.
Saat itu, seorang Jurnalis bernama Soerah Courant pada koran berbahasa Belanda mengomentari lukisannya demikian : "Lain dari pada itoe dipertontonkan djoega beberapa aquarel bangsa boemipoetera Pirngadie, eleve-mantri pada kadaster di Pasoeroean, jang tiada pernah mendapat pimpinan, tetapi semata-mata menoeroet desakan hatinja sendiri memboeat gambar tjat air alam. Misalnja pemandangan pada danau Gratie itoe mengandoeng perasaan jang amat loear biasa. Alangkah baiknja, apabila pemoeda Djawa jang pasti besar ketjakapannja oentoek seni schilderen ini, mendapat pimpinan goeroe-goeroe jang baik. Siapa tahoe ia kelak akan menjamai, djika tidak melebihi Raden Saleh". (Terjemahan Sutan Takdir Alisjahbana).
Selain Von Juncker Bigatto, seorang pelukis bernama Du Chanttel juga disebut berpengaruh besar membimbing Pirngadi. Sejak pameran pertamanya, Pirngadi kerap mengikuti pameran di berbagai daerah.
Pertemuan dengan J.E. Jasper
Mas Pirngadie dan J.E Jasper dalam Poster mengenang 100 tahun karya mereka di Museum Tekstil Jakarta (Dok : Facebook Noters MJA Nashier) |
Dalam sebuah artikel di Op de Hostage tahun 1909, Jasper menulis tentang album ini demikian : "Jarang saya melihat reproduksi motif-motif Batik Jawa asli yang lebih baik dari yang ada di album Mas Pirngadie. Warna soga tua itu, seperti yang dipakai di Yogya oleh pembatik, yang tercipta dari ramuan-ramuan berbahan alami memakai resep yang rumit, begitu juga biru indigo yang diterakan di kain, hasil kerja berbulan-bulan, keindahan dan kecemerlangannya bisa terlihat dari gambar-gambar Mas Pirngadie".
Setelah itu, J.E. Jasper mengajak Mas Pirngadi bekerja di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Dinas Arkeologi dan Seni). Pada mulanya mereka berdua berkolaborasi untuk menggali informasi dan mekonstruksi dari reruntuhan monumen / bangunan bersejarah. J.E Jasper kemudian ditugasi Pemerintah Kolonial Belanda untuk mengumpulkan keterangan lengkap tentang seni kerajinan tangan di seluruh nusantara. Mas Pierngadi pun diajak menjadi illustrateur - nya. Selama sembilan tahun, 1904 - 1913, kedua orang ini berkeliling nusantara.
Data dan informasi tentang seni anyaman, seni tenun, seni batik, seni logam dan lain-lainnya di seantero Hindia Belanda mereka dokumentasikan secara sempurna dan detil lengkap dengan gambar dan ilustrasi yang dibuat Pirngadi. Karya mereka dituangkan dalam lima jilid buku, berjudul De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie (Seni dan Kerajinan Tangan di Hindia Belanda) yang diterbitkan Graven Hage.
Jilid pertama tentang Het vlechtwerk atau anyaman, terbit tahun 1912. Jilid kedua tentang De weefkunst atau tenunan, terbit 1912. Jilid 3 tentang De batikkunst atau batik, terbit 1916, jilid 4 tentang De Goud en silversmeedkunst atau emas dan erak, terbit 1927 dan jilid 5 tentang De bewerking van niet-edele metalen atau logam selain emas dan perak, terbit 1930.
Buku Karya J.E. Jasper dan Mas Pirngadie ( Dok : Facebook Notes MJA Nashier) |
Dalam salah satu artikelnya, S.T.A. menulis demikian : "Dalam waktoe itoelah perasaannja terhadap gambaran ornament dapat toemboeh sesempoerna-sempoernanja. Di berbagai daerah itoe boekan sadja ia mendapat kesempatan mengenali sebaik-baiknja tjara anak negeri menghiasi barang perhiasan dan barang keperloean mereka setiap hari, iapoen mendapat kesempatan sepenoeh-penoehnja memakai pinsilnja oentoek meloekiskan sekaliannja itoe di atas kertas. Dan siapa jang membalik-balikkan kelima djilid boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tebal-tebal hasil perdjalanan itoe dan mengamat-amati dengan seksama gembaran jang beratoes boeah itoe, tiada boleh tiada akan kagoem melihat ketjintaan, kesabaran, ketetapan hati, ketelitian dan tadjamnja penglihatan jang berseri-seri di seloeroeh gambaran itoe. Sesoenggoehnja dengan boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tiada ternilai harganja itoe telah terteralah oentoek selama-lamanja nama Mas Pirngadie sebagai ahli gambar jang pajah ditjahari tandingannja pada zaman permoelaan kebangoenan bangsa Indonesia sekarang ini". (S.T.A. 1934).
Sebagai budayawan, S.T.A. memberikan kesaksian kiprah Mas Pirngadie, sebagai 'seorang dari pada mereka jang soenji sepi berdjoeang itoe, tiada diminati dan tiada dikenali orang'. Ia menilai Pirngadie sosok yang berpengaruh dalam ranah kebudayaan negeri ini. Karya-karyanya memiliki kekuatan, keindahan dan kedalaman. Sosok Pirngadie diceritakan tetap hidup sederhana dan rendah hati meski sudah menjadi ahli gambar terkemuka.
S.T.A menyayangkan tak ada media atau penulis lokal selain dirinya yang mengulas sosok Pirngadie. Ia menulis berdasarkan wawancara langsung dengan Mas Pirngadie serta riset terhadap tulisan koran atau majalah berbahasa Belanda yang terbit di negeri ini maupun di luar negeri yang mengupas karya-karya Mas Pirngadie. S.T.A merasakan kenyataan ini memedihkan bahwa Mas Pirngadie seperti 'tak diperhitungkan' di kalangan pribumi meski telah menghasilkan ratusan karya lukis hebat dan lima jilid Buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie.
Ya, sosoknya memang tak banyak dikenal, hingga kini. Saya sendiri tak sengaja mendapatkan informasi tentang Mas Pirngadi. Saat itu saya menggunakan bantuan google dengan kata kunci ‘artefak dari Purbalingga di Museum Nasional’, serr, pada laman pencarian salah satunya muncul artikel mengenai Mas Pirngadie dari Purbalingga. Akhirnya, saya meneruskan riset tentang dirinya dan menuliskan artikel ini.
Masterpiece Pirngadie, 78 Lukisan Wajah Suku Bangsa
Karya Mas Pirngadie di Ruang Etnografi, Museum Nasional (Dok : Facebook Notes MJA Nashier) |
Lukisan itu hasil dirinya berkeliling ke seluruh pelosok nusantara bersama J.E Jasper. Goresan kuas Pirngadi berbuah ratusan karya yang sebagian besar merupakan pemandangan alam daerah-daerah yang dikunjunginya.
Namun, masterpiece dari Mas Pirngadie adalah lukisan 78 wajah suku bangsa di Hindia Belanda alias Indonesia itu. Lukisan yang dipajang saat ini di Museum Nasional adalah karya kedua, yang pertama dipamerkan di Koloniale Tentoonstelling (Pameran Kolonial) di Paris, Prancis 1931. Malangnya, pada pameran itu terjadi tragedi kebakaran yang memusnahkan karya Pierngadi bersama dengan buah seni nusantara lainnya.
Gila’-nya, Mas Pirngadie menggambarnya sekali lagi 78 lukisan itu sehingga pada 1935, karyanya terpajang di museum tempatnya bekerja dan masih bisa kita saksikan hingga kini.
Tak lama, setelah karya monumentalnya di pajang, Mas Pierngadi beristirahat untuk selama-lamanya pada Sabtu, 4 April 1936.
Sahabatnya, Sutan Takdir Alisjahbana menuliskan memoar untuknya. "Mas Pirngadie, aman dan sentosa toean dapat merebahkan badan toean jang letih di pangkoean boemi : pekerdjaan toean telah selesai. Dan nama toean tiada akan terloepa lagi!" (S.T.A. 1936).
Selama hidupnya, Pirngadi menerima berbagai macam penghargaan, diantaranya, piagam penghargaan lukisan terbaik pada pameran di Annual Fair Surabaya(1905), Penghargaan II pada pameran lukisan cat air, Surabaya (1907), Dua medali pada pameran lukisan, Surabaya (1912), hadiah untuk lukisan pemandangan Indonesia terbaik pada The Gent Exposition (1913), hadiah pertama untuk lukisan cat air terbaik pada Pameran Kolonial, Semarang (1914), hadiah pertama dan kedua pada perlombaan membuat kulit buku terindah (1919) dan Anugerah Tanda Kehormatan Kelas Satyalancana Kebudayaan dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (2014).
Sebagai penerusnya, Pirngadie sempat melatih beberapa pelukis muda Indonesia, di antaranya adalah Sudjojono dan Suromo.
Tak disangka ya, Bumi Perwira ternyata melahirkan seorang maestro pelukis, ilustrator dan etnografis handal yang diakui tingkat nasional bahkan dunia.
Wong Purbalingga pancen topp!
Lukisan Mas Pirngadie (Dok : www.mutualart.com) |
Tulisan MJA Nashir di dalam buku Katalog Pameran "100 th De Weefkunst (Seni Tenun) karya J.E. Jasper & Mas Pirngadie". Penerbit: Bergoord Publishing, Oosterbeek dan Museum Tekstil, Jakarta yang saya baca di sini https://www.facebook.com/notes/mja-nashir/mas-pirngadie-jejak-jejak-yang-berkelana-dari-masa-silam-ke-masa-kini/10151194597537856/
Tulisan Sutan Takdir
Alisjahbana tentang mas Pirngadie yang sudah diterjemahkan dan saya baca di sini
https://historead.co.id/mas-pirngadie-ahli-gambar-bangsa-indonesia/
Biografi Mas Pirngadie di
Wikipedia dan Situs Resmi Museum Nasional
1 Response to " MAS PIRNGADIE, MAESTRO PELUKIS DARI PURBALINGGA"
Wong Purbalingga kudu gawe acara tribute to mas Pirngadie kie lik, agendakan.
Post a Comment