EBEG PADA ERA KOLONIAL DI PURBALINGGA
Ebeg, kesenian tradisional khas Banyumasan ini sudah eksis sejak dulu
kala, sekira abad 9. Pagelaran ebeg kerap dihelat pada hajatan warga ataupun
hari-hari besar nasional di wilayah Barlingmascakeb. Kesenian mirip ebeg, pada daerah
lain di Jawa Tengah, Timur dan Yogya, disebut dengan kuda kepang, kuda lumping
atau jathilan.
Kesenian Ebeg ini musiknya ritmis, gamelannya ditabuh dengan penuh
semangat. Tariannya rancak, para penari bergerak dinamis dan tegas. Lagu
pengiringnya dinyanyikan dengan lantang dan riang. Plus ada atraksi-atraksi mendebarkan
yang menjadikan Ebeg tak lekang oleh jaman.
Pada era kolonial, ebeg juga kerap ditampilkan. Pertunjukannya selalu
ramai dibanjiri penonton. Konon, ebeg juga bentuk perlawanan terselubung terhadap
penjajahan. Ada ekspresi dan pesan-pesan yang disampaikan kepada khalayak.
Barisan kuda-kuda bambu yang dikendarai para penari bak pasukan kavaleri
yang siap perang. Apalagi gerak dilengkapi kostum penari memang seperti para prajurit.
Lirik lagunya juga menyerukan pesan moral sekaligus kritik sosial. Klimaksnya,
ada adegan wuru alias kesurupan atau trance menjadi ajang unjuk gigi
kemampuan supranatural. Ini seolah memberikan psywar : ‘Jangan Macam-macam Sama Orang Panginyonyan!’.
Saat periode wuru, orang bisa
makan ayam mentah, nguntal remukan
kaca alias beling, manjat pohon
kelapa dengan enteng lalu turun dengan kepala dibawah, tangan digorok golok tak
mempan, menginjak tumpukan bara tanpa terasa panas, buka buah kelapa hanya
dengan gigi dan lainnya. Nggegirisi nyar nyer pokoke.
Orang Belanda yang pernah menyambangi Bumi Perwira pun kagum sama kesenian satu itu. Salah satunya, seorang ambtenaar Belanda bernama Wouter Theodorus
van Dusseldorp. Ia berkeliling Jawa dan sampai di Purbalingga. Meener Dusseldorp ini suka foto-foto,
banyak koleksinya, ada jepretan pemandangan, bangunan, aktivitas sosial dan
juga soal seni budaya, salah satunya ebeg.
Ada dua buah koleksi Dusseldorp yang mengabadikan pertunjukan ebeg di
Purbalingga bertarik tahun 1930. Karyanya yang diberi tajuk Volksfeest te Poerbolinggo in Midden-Jawa
atau Festival Rakyat di Purbalingga. Pada foto pertama di atas tampak grup ebeg
tengah beraksi ramai ditonton khalayak. Kalau melihat lokasinya tampaknya
pertunjukan digelar di alun-alun. Bangunan beratap joglo yang menjadi latar
foto itu adalah kediaman bupati dan pohon beringin besar adalah penanda
alun-alun.
Jan jane inyong penasaran, Iloken, Meneer Dusseldorp melu wuru apa
mendem ora yaa pas motoni ebeg kue?.. hehe.
Sebagai informasi, foto-foto Dusseldorp di Purbalingga itu merupakan
koleksi digital Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Ada satu arsip khusus
berisi 470 jepretan momen-momen Meneer Belanda
itu yang diberi kode KITLV A312. Saya pernah mengulas sebelumnya tentang Dusseldorp yang
artikelnya bisa dibaca di sini.
(Bataljon Friesland adalah kesatuan yang bertugas pada agresi militer
Belanda I di Purbalingga. Kisahnya sudah saya tulis artikelnya bisa dibaca di sini dan di sini)
Kalau di atas agak close up,
berikut di bawah ini foto yang agak wide.
Keterangan dan waktunya sama. Tampak kerumunan masa cukup banyak. Tua-muda,
lelaki-wanita tumpah ruah. Ada atraksi panjat pinang juga. Lalu, sepertinya ada
dua orang serdadu Belanda di dekat truk.
Jen, agi perang sempet-sempete pada pesta ya. Menek anjir karo ebeg-ebegan.... wuru lurr... serr...
Sumber :
Foto Ryksargyf, Bataljon Frieland, Lex de Jong di www.tresoar.nl
Digital Collection Universiteit Leiden di www.universiteitleiden.nl
0 Response to "EBEG PADA ERA KOLONIAL DI PURBALINGGA"
Post a Comment