Saat ‘Kasan Wolu’ Melawan Para Perusak Hutan
Poster Diskusi dan Bedah Buku Kasan Wolu (Design by : Deni) |
Sebuah tinjauan kritis atas Cerpen 'Kasan Wolu' karya Teguh Pratomo
Bentuk perlawanan terhadap kebathilan itu memang beragam. Ada aksi nyata, sabotase, laku pepe (1) , koar-koar, tutup mulut sampai sekedar diam merapal doa. Salah satunya bisa melalui karya sastra seperti yang dilakukan seorang Teguh Pratomo (2) alias Kang Toge.
Kang
Toge resah, marah bahkan murka akan kerusakan hutan yang terjadi di
Purbalingga, kampung halaman yang dicintainya. Ia berhasrat besar melawannya.
Sebagai aktivis lingkungan, birokrat yang juga merangkap sastrawan, Kang Toge
kemudian memilih sarana perlawanannya sebuah cerita pendek berjudul ‘Kasan
Wolu’.
Kasan
Wolu, yang diambil Kang Toge menjadi judul cerpen adalah salah satu tokoh Suku
Pijajaran alias Wong Alas Carang Lembayung. Kisah mereka hidup di antara masyarakat
yang bedampingan dengan kawasan hutan utara Purbalingga yang disebut dengan Pegunungan Zona Serayu
Utara atau Pegunungan Sisik Naga. (Bagi yang mau tahu hasil Ekspedisi Sisik Naga bisa ditonton di sini)
Sebab
pembuatnya Kang Toge, bertemakan lingkungan dan berjudul menggelitik : ‘Kasan
Wolu’, maka cerpennya kami bedah di Griya Petualang Indonesia, Pakedjen (29/03)
malam. Proses yang singkat, Kang Toge membagi karyanya yang terbit di Kolom
Bendrong Kulon Harian Radar Banyumas pada Hari Minggu di grup whats app Ekspedisi Sisik Naga, Senin
malam sudah sepakat untuk dibedah. Ke-gercep-an
ini karena kesadaran sepenuhnya mengenai sebuah kebiasaan : Agenda yang
direncanakan jauh hari biasanya malah gagal!!
Kembali
ke topik, saya pribadi apresiasi betul karya senior saya di PPA Gasda itu. Sebagai
sebuah sastra, Kang Toge sukses besar, karyanya indah, enak dibaca, sastrawi
banget. Namun, sebagai alat perlawanan atau sarane kampanye untuk menggasak
para perusak hutan di Purbalingga seperti yang diklaim Kang Toge, pangapunten kang itu gagal kurang
berhasil.
Saya
menyadur penyataan Kang Belle sebagai pembahas pada Bedah Buku semalam : “Sing maca cerpen kue paling pirang jendil.
Sing ngerti lebih sethitik maning, kayane kur ko karo redakture,” katanya. Kejam
memang kalimat Kang Belle, namun saya banyak sepakatnya. Cerita ‘Kasan Wolu’
dipenuhi dengan diksi-diksi arkais (3)
yang sudah hampir punah. Saat dirangkai menjadi kalimat, bertele-tele. Kemudian
masih dijejali dengan simbol-simbol dan idiom yang semakin membingungkan.
Mau tahu begitu susahnya memahami cerpen karya Kang Toge? Berikut saya kutip satu bait pembukanya :
Sebelum kematian kekasihku, segala nyali yang datang membusung ke gugusan rimbun daun-daunku tertawan di lembah-lembah mara. Pada mata yang terbaca gelagat mala, kekasihku berdiang di murka Kala, menjadi kembang asem paling digdaya. Pada matanya yang semerah mata lelaki kelahiran samudera mendidih ketika asmara gegar waktu tumpah di atas punggung lembu suci, ia bagai pemburu sukerta kepada para pemberani yang memanggul kapak. Ia yang lahir pada malam Tumpak Jenar tak terhentikan. Sekali kapak terayunkan, ia seakan hanya tertandingi oleh bocah beracun api yang dipaksa lahir sebelum waktunya. Tak ada pula Murwakala yang dilakonkan dalang leger di bawah kaki-kaki pohonku yang perkasa.
Siapa
kira-kira yang paham rangkaian kalimat itu dalam sekali baca?? Saya tanyakan
kepada lebih dari 30 orang yang hadir dalam Bedah Cerpen semalam, kecuali Kang
Toge yang menunduk, semuanya menggeleng. Saya pribadi baru sedikit paham saat membaca dua
kali, plus mendengarkan Kang Setyo mendeklamasikannya dengan indah. Kemudian,
baru bertambah pemahaman dari sedikit menjadi dua dikit saat dijelaskan lebih
lanjut oleh penulisnya.
Saya
contohkan soal dua tokoh saja yang ada dalam cerpen, yang untuk memahami perlu memecahkan
simbolisasi beringkat-tingkat, lebih susah memahaminya dibandingkan kerumitan misteri Novel ‘Da Vinci Code’ karya Dan Brown.
Satu, lelaki kelahiran samudera mendidih ketika
asmara gegar waktu tumpah di atas punggung lembu suci . Ia ternyata adalah
Batara Kala, tokoh dalam kisah Pewayangan Mahabarata. Kenapa disebut dengan perumpamaan demikian? Sebab,
Kala itu ceritanya lahir tak sengaja akibat persenggamaan paksaan Batara Guru terhadap Dewi
Uma saat melaju di atas laut di punggung Lembu Andini. Sperma yang berceceran dari
persetubuhan ugal-ugalan di atas punggung lembu suci itu kemudian jatuh ke air, membuat
lautan mendidih dan lahirlah Kala. Wow (1)!
Dua,
bocah beracun api yang dipaksa lahir
sebelum waktunya. Ini maksud Kang Toge adalah perwujudan dari Bambang
Wisangeni anak Arjuna dan Dewi Dresanala. Ia juga tokoh di Epos Mahabarata tapi
yang versi Jawa yaa (Mahabarata di India tidak bakalan ada yang namanya Bambang!!!).
Ceritanya Si Bambang ini lahir prematur akibat dipaksa, mungkin pakai induksi
atau Operasi Caesar, oleh Batara
Brahma kakeknya sendiri.
Setelah
mbrojol, Sang Jabang Bayi direnggut
dari ibunya, lalu dilempar ke Kawah Candradimuka, Gunung Jamurdipa. Untungnya, bayi itu
ditolong oleh Batara Narada, rival Batara Brahma lalu diberi nama wisanggeni, artinya, racun api (wisa = racun, geni = api). Godokan
Kawah Candradimuka malah membuatnya tumbuh mejadi pemuda gagah perkasa, sakti
mandraguna. Wow (2)!
Penasaran kenapa
sih, sampai seorang dewa seperti Brahma menjadi ‘dewa tega’ membuang cucunya
sendiri? Sebabnya provokasi alias mulut beracun seorang wanita!!. Kisahnya mbulet,
tapi saya jelaskan alur singkatnya. Alkisah, di kehidupan kahyangan yang penuh
hura-hura ada seorang dewi bernama Dewasrani cembokur sama sohibnya sendiri, Dresanala. Mereka berdua suka sama
Arjuna, lelaki ganteng berdada bidang dengan perut sixpack yang tentu saja penuh pesona. (Cewe langsung rahimnya anget liat arjuna). Ndilalah, pilihan Arjuna jatuh pada Dresanala.
Dewasrani murka, ngadu lah sama nyokapnya Batari Durga. Nah, Si Durga ini tipe ibu-ibu jahat di Sinetron Indonesia, mudah panas, lalu lapor sama suaminya Batara Guru (presiden
para dewa). Meski sebagai presiden penuh kuasa, Batara Guru tipe suami takut istri, nurut saja sama bininya. Lalu perintahkanlah Batara Brahma, bawahannya, agar anaknya Si Dresanala
menceraikan Arjuna.
Batara
Brahma pening, lalu cari jalan tengah. Dia nggak bisa nolak Batara Guru atasannya tapi tengsin sama menantunya. Akhirnya, diboongin tuh Arjuna, disuruhnya mudik pulang
kampung dengan alasan Dresanala mau dijadikan penari utama kahyangan. Si Arjuna
ganteng tapi bego, mau saja dia
dikibulin. Bayangin, betapa merana Dresanala karena ditinggal pas lagi sayang-sayangnya saat
sedang hamil muda pula. Lagi hamil ndak punya suami, malu dong, dipaksalah untuk melahirkan sebelum waktunya (Batara Brahma Pelaku Aborsi!!).
Belum cukup kekejaman itu, janinnya lalu dibuang di kepundan gunung api yang menggelegak!
Ending-nya
agak happy memang. Setelah bangkit
dari kawah dan digembleng Batara Narada, Bambang Wisanggeni yang sudah jadi
pemuda sakti mandraguna itu membalas dendam, Ia obrak-abrik tuh kahyangan. Tak ada
yang mampu mengalahkan. Kakeknya dan Batara Guru juga di KO, iyalah udah tuwir. Mereka akhirnya
mengaku salah dan tobat. Bambang Wisangeni lalu mencari bokapnya, Arjuna dan mereka
berdua menjemput nyokapnya, Dresanala. Jadilah keluarga cemara.
Lah,
kok jadi aku menjelaskan panjang lebar gini ya... haha.
Balik maning!. Intinya
dari dua contoh itu saja yang ada pada bait awal cerpennya Kang Toge sudah
mengajak main petak umpet berlevel. Seseorang yang ingin memahami cerpennya, stage pertama harus memecahkan idiom, level
berikutnya juga kudu tahu kisah
Mahabarata, dengan catatan yang versi Jawa ya bukan India. Kemudian masih
ditambah lagi harus tahu bahasa lampau serapan sansekerta seperti mara, mala, sukerta, tumpak jenar,
murwakala, dalang leger dan lainnya. Pusing ora son?
Sekali
lagi, sebagai karya sastra dua jempol lah, empat malah, Good Job Kang! Akan tetapi, kalau panjenengan bilang itu alat
perlawanan untuk menggasak para perusak hutan ya ‘jauh panggang dari api’.
Pesan dan kemarahan Kang Toge kepada para para perusak hutan yang digambarkan
dengan empat perumpamaan yaitu para
pemanggul kapak, para pembawa panah,
kawanan perambah dan kekasih yang pura-pura tidaklah sampai.
Keprimen gole gutul mudeng
be ora... hehe
Saya
dan para pembaca yang jumlahnya sudah terbatas itu baru tahu setelah bedah
cerpen bahwa ‘para pemanggul kapak’ adalah simbolisasi dari pembalak liar, ‘pembawa
panah’ simbol dari pemburu liar, ‘perambah’ si sudah paham lah ya perambah
hutan dan ‘kekasih yang pura-pura’ adalah orang yang mengaku pecinta alam namun
justru malah berlaku sebaliknya.
Selanjutnya,
pesan Kang Toge yang mulia bahwasanya, hutan memiliki kemampuan untuk
menyembuhkan dirinya sendiri jika kerusakan terjadi secara alamiah, namun yang
sukar disembuhkan adalah kalau kerusakan sistematis akibat tingkah laku manusia
yang dibiarkan begitu saja tanpa kekangan maka kita harus melawannya, juga
tak akan dipahami dan dimengerti.
Kang Toge boleh saja membela diri
bahwa ini adalah karya sastra yang semua orang bebas untuk menginterpretasikannya,
gari-garine mpolone dewek-dewek gole arep
ngartikna!. Penulis, kata panjenengan,
sudah ‘mati’ saat karya dipublikasikan artinya tidak peduli pesannya sampai
atau tidak bahkan kalau dianggap sampah sekalipun.
Namun, saya lebih setuju
dengan Kang Pherle yang juga menjadi pembahas. Kang Pherle bilang sastra yang
baik dan efektif selain enak dibaca dan indah juga harus mudah dimengerti
pesannya, sebab sastra memiliki kekuatan besar lho untuk melawan ketidakadilan,
menegakan kebenaran. Tentu saja semua itu bisa tercapai jika dipahami oleh para
pembacanya, tersosialisasikan, kemudian menjadi pemahaman dan kesadaran
bersama.
Kang Pherle mengutip pesan Khalifah Umar Bin
Khattab yang ini.
Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu
Agar mereka berani melawan ketidak adilan.Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu
Agar mereka berani menegakan kebenaran.Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu
Agar jiwa-jiwa mereka hidup.Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu.
Sebab sastra akan mengubah yang pengecut menjadi pemberani.
Sebagai penutup, mohon maaf ya kang
atas kritik dan hujatan semalam, juga tulisanku ini. Orasah ngambek, rika ala nek baperan. Itu bentuk kecintaan tresna
kami kepada panjenengan dan alam Purbalingga tentunya. “Nek udu cerpenmu aku
moh maca apa maning diskusi kaya kiye,” ujar Kang Belle.
Justru, kami terima kasih banyak ini
kang, berkat dirimu tadi malam Griya Petualang jadi tempat diskusi gayeng
panjang lebar kali tinggi yang cukup ada faedahnya plus ada pembelajaran literasi dan
sastra.
Meski lewat debat ‘sais kereta kuda’
(kusir maksudnya.. wkwk), kita sudah sepakat bahwa kerusakan hutan harus
menjadi kepedulian bersama. Faktanya memang hutan kita mendapatkan ancaman
serius. Hasil Ekspedisi Sisik Naga yang dilakukan Oktober 2020 memberikan bukti
sahih bahwa kerusakan hutan masif terjadi.
Apa yang disampaikan Kang Toge para aktor perusak hutan yang disimbolkan dengan ‘pemanggul kapak’, ‘pembawa panah’, perambah dan ‘kekasih yang pura-pura’ itu benar adanya. Kita harus terus mengkampanyekan perlawanan terhadap perusak hutan lewat semua media.
Kang Toge banyak berkiprah dan kali ini menyatakannya lewat sastra.Kita juga tak boleh tinggal diam. Mari gasak para perusak hutan!!
Salam
Lestari
Lestari
Alamku, Lestari Hutanku, Lestari Indonesiaku!
Diskusi dan Bedah Buku Kasan Wolu (Foto : Gonthenk) |
Catatan Kaki
1.
Laku Pepe adalah bentuk protes atau
demonstrasi yang lazim di era Kerajaan Majapahit sampai Mataram. Warga yang
melakukan protes atas ketidakadilan berjemur dialun-alun sampai dipanggil oleh
raja untuk ditanya aduanya dan mendapatkan keadilan
2.
Teguh Pratomo alias Kang
Toge bukan Sastrawan kaleng-kaleng. Karya sebelumnya, ‘Perempuan yang Membakar
Aksara’ terpilih sebagai penerima penghargaan
dalam Anugerah Sastra Banyumas Raya ‘ANARGYA SERAYU PENAWARA’.
3.
Arkais dalam KBBI artinya kuno, tua,
ketinggalan zaman, hampir punah atau jarang (tidak lazim) dipakai lagi.
4.
Kang Setyo selain mendeklamasikan 3 halaman
cerpen Kang Toge dengan penuh penjiawan juga membela bahwa tugas Kang Toge
sebenarnya sudah selesai setelah karya diterbitkan. Selebihnya tergantung
interpretasi pembaca.
5.
Bawor menyampaikan bahwa sastra itu luar
biasa. Bisa menjadi pemantik dan penyelesai perang.
6.
Okta, Ciwa, Ito, Bayu, Yoyo, Kang Deni yang
turut urun berdebat rata-rata sepakat bahwa karya Kang Toge bagus tetapi pesannya
susah dimengerti. Harus ada kompromi, diskusi, kritisi untuk bisa memunculkan
solusi, efek positif serta pesan dalam sebuah karya sastra bisa tersampaikan.
0 Response to " Saat ‘Kasan Wolu’ Melawan Para Perusak Hutan"
Post a Comment