SAN KLONANG : “Mendung di Carang Lembayung”
Keheningan menyergap Bukit Senggani sore itu. Sang Bagaskara(1) sudah tak lagi manjer kawuryan(2). Sinarnya mulai meredup sembari bergulir lambat ke ufuk barat. Puncak Gunung Cupu yang berselimut kabut tampak jumawa(3) dari area terbuka di bukit itu yang membentuk seperti altar, membujur selatan-utara.
Tempat itu sungguh sedap dipandang
mata. Pada sekitarnya, deretan pohon-pohon dengan batang satu-dua pelukan orang
dewasa membentuk pagar keliling raksasa. Ranting dan daunnya jalin menjalin
menjamin keteduhan. Pemandangan menjadi lebih surgawi dengan dua curug(4) mungil berair jernih
di sebelah kanan dan kirinya.
Curug di sebelah kiri yang lebih terjal,
airnya berkilauan saat jatuh berhamburan menumbuk batu. Sisi sebaliknya, curug
yang lebih landai membentuk aliran air laksana taksaka(5) raksasa menuruni bukit. Suasananya menjadi
lebih magis karena sepanjang aliran itu mengepulkan asap yang mampu
menyembunyikan dasar jurang di bawahnya. Rupanya suhu hangat berkolaborasi
dengan udara dingin menghasilkan asap tipis dari air yang tak henti
meruap-ruap.
Namun, suasana alam mempesona itu
berkebalikan dengan rona hati puluhan orang yang berkerumun di sekitar altar
bukit itu. Mereka semua bermuram durja. Balutan busana serupa serba putih dan
sikap diam mematung semakin memantulkan aura kesedihan mendalam.
Paling depan, selaku pemimpin, ada
pria separuh baya berperawakan tegap duduk takzim. Sesosok tubuh perempuan yang
sudah membujur kaku berada sedepa di hadapannya. Serupa dengan lainnya, tatapan
pria itu kosong, matanya nanar dan berkabut. Mukanya mengeras karena harus
menahan amarah dan kesedihan bersamaan.
Setelah sepenanakan nasi diam membisu,
pria itu bangkit, berdiri lalu berbalik
menghadap kumpulan orang yang duduk
mengekor di belakangnya. Pakaian dan udeng(6)
yang dikenakannya berkibar diterpa sarayu(7)
yang tiba-tiba bertiup kencang.
Ia menatap dalam-dalam satu per satu
wajah penuh kesedihan di depannya. Setelah menarik nafas panjang, udara
memenuhi rongga paru-paru yang sedikit menyegarkan benaknya, Ia angkat bicara.
Suaranya pelan tapi cukup untuk memecah keheningan dan masuk ke indra dengar
mereka dengan jelas.
“Oh, Jagad Dewa Batara, Sang Hyang Widi, ampunilah dosa-dosa kami.
Kuatkanlah kami menghadapi cobaan ini,” ujar pria itu dengan kalimat pembuka
penuh puja dan doa. Lalu, kembali Ia menarik nafas sebelum melanjutkan sesorah(8).
“Wahai penduduk Carang Lembayung, Nini
Martini, ambu(9) kita,
telah mendahului menghadap Sang Hyang
Widhi. Ia makan Buah Nangka yang ternyata sudah ditaburi racun jelema luar(10) saat mencari supa(11). Aku dan Aki Minarji
yang menemukan tak dapat berbuat banyak. Tak ada tabib dan obat yang mujarab,
racun itu di luar pengetahuan kita,” ujarnya.
Pria itu kembali menarik nafas, kali
ini lebih berat, lalu melanjutkan bicara. “Mari kita doakan semoga Nini Martini
tenang di alam sana dan mendapatkan tempat terbaik di sisi Sang Hyang Widi”. Usai bicara, tangannya memberi isyarat agar para
hadirin berdiri yang diikuti tanpa tanya.
Ia mengambil obor, perlahan
disorongkannya agar jilatan api menyambar tumpukan kayu bakar yang menjadi
ranjang terakhir Nini Martini alias Teplo, panggilan masa mudanya. Api kecil
lambat laun membesar berkobar-kobar sambar menyambar berebut menjadikan kayu dan
jasad Nini Martini menjadi abu.
Mereka masih berdiri dengan mulut
bergumam merapal doa sampai api kehabisan bahan untuk dilalap dan perlahan
padam. Seorang wanita muda dengan muka sembab kemudian mengambil kuali tanah
untuk menyimpan abu Nini Martini.
Pria pemimpin kawanan itu yang bernama
San Klonang beringsut menepi,
mengambil jarak dari warganya yang satu per satu pergi meninggalkan altar bukit
itu. Ia mendekati sesosok renta bertongkat Kayu Sanakeling yang tengah
menengadah memandang pucuk Gunung Cupu. Sesepuh itu bernama Aki Minarji.
“Aki, hal ini sudah tidak bisa kita
biarkan. Jelema luar itu harus kita
peringatkan keras. Sudah saatnya kita bertindak,” ucap San Klonang membuka
pembicaraan, pelan dan penuh hormat. Aki Minarji terdiam. Ia menoleh ke arah pria
yang mengajaknya bicara lalu ditatapnya lekat, bibirnya masih terkatup. San Klonang
mendapatkan lampu hijau untuk melanjutkan bicara.
“Para
Pemanggul Kapak sudah makin berani. Mereka sekarang sudah punya alat yang bisa menebang pohon sepuluh kali lebih
cepat dan bunyinya memekakan telinga. Pohon-pohon besar tempat bersemayam arwah
leluhur kita semakin banyak tumbang. Para
Pembawa Panah semakin merajalela. Tak lagi membawa gendewa(12), mereka berganti dengan senjata jauh lebih mematikan,
bisa melontarkan butir besi panas yang bisa membunuh kawan-kawan kita lebih
cepat dan tepat”. Ada kegetiran dalam nadanya.
San Klonang menarik nafas dalam lagi. “Kemudian,
Para Perambah Hutan makin merangsek
wilayah kita. Tempat berburu dan mencari makan sudah semakin sempit. Lahan
bermain anak-anak kita sudah berganti menjadi kebun tanaman yang mereka ambil
umbi dan buahnya secara berkala”
Aki Minarji masih menatapnya tanpa
ekspresi, San Klonang melanjutkan bicaranya, kali ini dengan nada lebih rendah.
“Aki, amanat leluhur kita, Raden Munding Wangi, untuk mejaga hutan ini harus
kita tunaikan”. San Klonang merasa cukup bicaranya. Ia menanti respon Aki
Minarji.
Sesepuh warga Carang Lembayung itu
akhirnya angkat bicara, pelan tapi berwibawa. “San Klonang, aku setuju
denganmu. Kehidupan dan hutan kita semakin terancam, harus diambil tindakan.
Namun, perlu kau ingat, kita juga terikat dengan perjanjian leluhur kita untuk
tidak menyakiti dan berhubungan baik dengan para jelema
luar itu”.
Aki Minarji memainkan tongkat di
tangan kanannya. Bagian ujung atas tongkat itu yang berbentuk seperti kepala
harimau dielusnya, lalu melanjutkan bicara. “Aku tunggu kau malam ini ke puncak
Gunung Cupu tepat ketika sasadara(13)
penuh. Mandilah di curug tiis(14) dan
curug haneut(15) sebelum berangkat.
Aku akan menurunkan warisan Eyang Pangeran Munding Wangi kepadamu,” ujarnya.
“Baik Aki, saya akan berada di sana nanti
malam,” ucap San Klonang singkat, lalu undur diri.
-o-
Malam sudah mendekati titik tengah, sasadara hari kelima belas hampir
terbentuk sempurna. Pemimpin Carang Lembayung duduk sila beralaskan batu pipih
di pucuk Gunung Cupu. San Klonang hanya mengenakan cawat dari kain putih.
Telapak tangannya tertangkup erat di depan dada telanjang, matanya terpejam.
Pada jarak sepuluh tombak, berdiri Aki
Minarji yang sudah agak membungkuk. Tongkatnya terangkat, tanganya terentang,
kepalanya menengadah menatap langit. Mulutnya menderas japa mantra. Tepat ketika rembulan penuh tanpa terhalang awan, rapalannya berhenti. Tubuh renta Aki Minarji tiba-tiba bergetar, tongkatnya
ditancapkan.
Entah kekuatan apa yang merasuk, Aki
Minarji tiba-tiba berubah menjadi tegap dan berjalan mantap ke arah San
Klonang. Pada sisa jarak setengah depa, Ia berhenti, kedua tangannya yang
berselimut kabut tipis terjulur ke kepala San Klonang. Selarik kabut di
tangannya hilang terhisap ubun-ubun pria itu.
Tubuh San Klonang bergetar hebat
seperti terserang demam. Kabut yang berpindah dari tangan Aki Minarji berkembang
biak, semakin tebal menyelimuti tubuhnya. San Klonang berpeluh, keringat sebesar biji kacang
hijau keluar dari pori-pori tubuhnya, padahal udara begitu dingin menusuk. Sarayu tiba-tiba datang bersiuran, rambut
panjannya berkibar.
“San Klonang ilmu warisan keturunan
Siliwangi sudah aku turunkan. Kau akan menjadi maung(16) sampai fajar menyingsing. Peringatkan jelema luar dan kembalilah segera
sebelum bagaskara terbangun dari
tidurnya sebab sinarnya akan membuatmu kamanungsan”.
Suara Aki Minarji tiba-tiba berubah seperti orang lain, berwibawa, menggema memenuhi
puncak gunung.
Usai perkataan sesepuh itu, tubuh San
Klonang berselimut asap yang kian menebal. Ia menggeliat, mengubah posisi
bersila menjadi seperti bayi merangkak. Sosoknya semakin tak terlihat. Aki
Minarji berdiri mematung. Keheningan kembali menguasai puncak bukit itu.
Sepenghabisan sebatang rokok,
tiba-tiba terdengar auman yang menggetarkan dari dalam kabut yang menyelimuti
San Klonang. Gelombang suara itu mengusir kabut menjadi semakin tipis.
Perlahan tampak tampak seekor hewan besar berbulu loreng di tempat San Klonang
yang tadi hilang ditelan kabut. Sekali lagi auman terdengar, kabut benar-benar hilang sehingga sinar sasadara bisa menampakan mulut hewan itu yang
terbuka lebar menampakan taring tajam berkilat-kilat, sungguh nggegirisi(17).
Sang Raja Rimba itu dalam
posisi siaga, menunggu perintah. Lidahnya terjulur menjilat angin, kumisnya bergerak-gerak. Saat Aki Minarji melambaikan tangan memberikan kode untuk mendekat, Ia berjalan gagah, menempatkan diri di sebelah
kanannya. Harimau berbadan kekar sepanjang lebih satu tombak dari kepala dan
ekornya itu seolah menjadi bhayangkara(18)bagi sang sesepuh.
Aki Minarji mengelus kepala hewan buas
itu penuh sayang yang disambut dengan goyangan kepala manja dan kibasan ekor.
Lalu, Aki Minarji memberikan taklimat singkat. “San Klonang pergilah!
Peringatkan para para pemanggul kapak, para pembawa panah dan para perusak leuweung(19) kita”.
San Klonang dalam bentuk maung itu menyahut dengan auman. Tak
menunggu waktu lama, Ia melompat panjang tanpa ancang-ancang lalu berlari
kencang menuruni bukit. Sejurus kemudian, daksa(20)
dari maung jantan itu sudah menghilang
dari pandangan. “Jagad Dewa Batara, lindungilah kami, jaga hutan kami,” ucap
Aki Minarji lirih. Ia kembali terbungkuk-bungkuk, diraihnya tongkat di depanya
untuk menjaga keseimbangan tubuhnya..
-o-
Kusni dan Darsiti, yang baru mengikat
janji suci sehidup semati satu purnama lalu benar-benar tak ingin melewati
malam dengan sia-sia. Udara dingin Kampung Tundagan yang berbatasan dengan
hutan benar-benar tak mereka hiraukan. Bilik berpenerangan damar(21) remang-remang justru semakin membakar semangat
mereka.
Tubuh mereka saling membelit seperti
sedang berolah gulat. Mulut mereka terengah-engah seperti Ikan Mujair kehabisan
nafas saat diangkat dari kolam. Paru-paru mereka yang berhimpitan berebut minta
asupan oksigen. Semakin lama, mereka seperti kuda pacu yang berlomba mencapai garis
finish. Saat akan mencapai puncak, ayunan tubuh mereka serentak berhenti
mendadak. Suara auman keras tiba-tiba terdengar seperti menendang gendang
telinga mereka.
Pasangan muda itu saling pandang. Rasa
takut tiba-tiba menelan, menghapus rasa kecewa karena pacuan yang batal
mencapai klimaks. Lahar yang akan muntah seperti kembali ke kepundannya.
“Kang, itu suara apa? Keras dan bikin
jantungku mau copot. Aku takut sekali Kang”. Darsiti menyembunyikan wajah di
dada suaminya.
“Itu seperti suara Macan Loreng(22), tetapi aku
belum pernah mendengar yang sedahsyat ini. Tenang Dar, aku aku mau mengambil
parang untuk berjaga-jaga. Aku yakin hewan itu tak akan masuk ke rumah kita”.
Kusni beranjak dari ranjang.
“Jangan lama-lama Kang, aku takut,” ucap Darsiti. Ia makin menekuk tubuhnya dibalik selimut.
“Iya, aku sekalian
ambilkan minum buat kita, kamu haus kan?,” kata Kusni, lalu bergegas keluar
kamar menuju belakang rumahnya.
Kusni segera mengambil parang yang
biasa menemaninya ke ladang. Ia enggan keluar namun penasaran maka lewat lubang
di sela pagar kayu belakang rumahnya Ia memantau situasi. Pemandangan yang
disaksinya membuat matanya terbelalak. Kusni menggigil ketakutan. Sinar
rembulan menampakan dengan jelas sesosok hewan besar berbulu loreng,
hitam-kuning keemasan, berada di dekat kandang kambingnya. Bola matanya
mencorong.
“Uedan,
benar-benar Macan Loreng. Besar
sekali. Tubuhku bisa koyak moyak sekali terkam”. Kusni membatin. Bulu kuduknya
merinding. Parang dipeluknya erat lalu berlari kembali ke kamarnya.
Saat sampai dibiliknya, pintu segera dikunci, masih ditambah dengan ganjalan kursi. Ia mengecek jendela
barangkali anak kunci luput masuk lubang selot. Parangnya ditaruh di atas meja,
lalu kembali ke ranjang menemani istrinya. Ia ikut masuk ke selimut.
“Kamu takut juga ya kang? Suara apa
itu kang?,” tanya Darsiti.
“Tidak, aku tidak takut. Tidak ada
apa-apa. Tenang, aku pasti bisa melindungimu sayang,” ujar Kusni sambil menarik
selimut lalu memeluk istrinya erat. Ia berusaha menepis bayangan Macan Loreng
dengan mata mencorong yang baru saja dilihatnya. Pelukan Darsiti juga semakin
erat, bagian tubuh yang menonjol dan kenyal tanpa penghalang semakin menempel.
Tiba-tiba hasrat birahinya kembali muncul, Kusni berniat melumat kelopak bibir
istrinya.
Aaaauummmm...., tiba-tiba suara raja rimba kembali terdengar. Tak hanya sekali, dua kali berurutan. “Matilah kita...!”. Kusni membatin. Ia melihat muka istrinya pucat pasi, cepat-cepat mereka merenggut selimut sampai menutupi muka yang kalut. Gairahnya musnah seketika. Keduanya menggigil disergap ketakutan. Darsiti semakin menyembunyikan mukanya di balik tubuh suaminya. Mereka merapal doa, berharap malam segera usai, tak perlu panjang-panjang.
Telinga mereka menangkap suara auman
lagi meski tak sekeras sebelumnya. Lalu, suara kambing peliharaan mereka di
belakang rumah yang mengembik lemah, seperti pasrah tak berdaya.
-o-
Esok paginya, saat terang tanah baru
mulai, kentongan dipukul bertalu-talu. Geger
genjik(22) melanda Tundagan. Warga berkumpul di rumah Mbah
Maryono, kepala dusun. Mereka kompak bermimik muka yang dihiasi rasa takut
ditingkahi rasa penasaran yang membuncah.
Kerumunan itu makin ramai, suasana
berubah riuh rendah. Suara mereka yang bersahut-sahutan, berdengung bak
sekumpulan lebah bingung. Mbah Maryono muncul, lalu berdiri di depan balai
rumahnya menghadap masa. Ia mengangkat tangan, memberi tanda agar warga diam
sebelum dirinya bicara.
“Sedulur
kabeh, dinihari tadi apakah mendengar
hal yang sama denganku? Ada auman Macan Loreng
yang keras sekali, terasa begitu dekat”. Mbah Maryono mengelus jenggot
panjangnya yang memutih.
“Njih,
sami mbah, saya mendengar keras sekali, seperti hanya berjarak satu dua
tombak dari kamar saya, saya memberanikan diri mengintip keluar. Memang benar
mbah, ada Macan Loreng, besar sekali, matanya mencorong, menakutkan. Seumur hidup saya baru pernah melihat macan sebesar itu dengan mata kepala sendiri, ” ucap Khusni
yang diamini oleh warga lainnya bersahutan. Mereka bergumam dengan nada
ketakutan.
“Lalu, apakah ada juga yang mengalami
hal yang sama denganku...? Wedus(23)
peliharaanku di belakang rumah yang paling besar mati, di lehernya ada bekas
gigitan,” ujar Mbah Maryono lalu memandang berkeliling.
Sejumlah warga mengacungkan tangan, berucap hal yang sama. Kang Tuyitno alias Kuming yang mempunyai dua pasang kambing baru beranak sepekan lalu menjawab paling lantang. “Sama Mbah, wedus saya yang jantan dan paling besar juga mati. Lukanya sama Mbah, gigitan di leher dan ada bekas cakaran kuku di tubuhnya”.
Selain gembala kambing, Kang Kuming juga tukang pulut(24) paksi(25)
yang handal. Tiap hari pasar, Ia rutin menjual aneka paksi warna-warni dan jago berkicau.
Mbah Maryono manggut-manggut. Menarik nafas, lalu berujar, “Riski, tolong kamu data berapa kambing peliharaan warga yang mati”.
“Baik, mbah,” jawab Riski, pemuda Tundagan yang aktif dalam
kegiatan di kampungnya. Ia berbegas mendatangi warga satu per satu melaksanakan
perintah.
Sejurus kemudian, Mbah Maryono
meneruskan kata-katanya. “Sedulur, adakah yang dalam beberapa pekan kemarin
memasang perangkap celeng(26)
dengan racun di hutan?. Perkataanya diikuti pandangan penuh selidik.
Salah satu warga, Satori, pemburu celeng ulung mengacungkan tangan. “Saya Mbah,
saya memasang perangkap dengan racun di Buah Nangka yang saya taruh di
perbatasan hutan dekat hulu Sungai Kahuripan”. Satori berucap dengan nada penuh
kehati-hatian.
Mbah Maryono terbatuk, menarik nafas, lalu bertanya. “Kang Satori tahu umpannya dimakan atau tidak?”.
“Tidak tahu
Mbah, nangkanya sudah hilang tapi saya tak menemukan celeng atau genjik yang
mati di sekitarnya,” sahut Satori. Mbah Maryono terbatuk lagi, lehernya seperti
digaruk biji kedongdong.
“Sedulur, seperti yang kita tahu
bersama, ada saudara kita turun-temurun, Wong
Alas di Hutan Carang Lembayung. Mereka keturunan Pijajaran para pengikut Pangeran Munding Wangi. Saat junjungan
mereka kalah tanding dengan Syech Atas Angin lalu berpindah agama Islam mereka
tak mau turut dan bersumpah untuk terus dengan kepercayaan leluhurnya. Pangeran
kemudian membebaskan mereka dan ditugaskan untuk menjaga hutan. Selama ini kita
hidup berdampingan dengan mereka, sesekali kita juga bersilaturahmi. Tidak
pernah ada masalah”
Mbah Maryono memberi jeda sebentar
untuk memandang warga yang tampaknya masih mendengarkannya dengan takzim.
“Lalu, perkembangan zaman memang membuat kita semakin banyak masuk ke hutan.
Apalagi banyak warga luar mempengaruhi adat-istiadat kita. Mereka berburu,
membuka lahan dan menebang kayu-kayu sampai mendekati wilayah mereka. Warga
kita banyak juga yang ikut dan malah menjadi kuli. Perjanjian leluhur kita
dengan Wong Alas Carang Lembayung
banyak kita ciderai”.
Para warga saling pandang. Mereka tak
ada yang berani bersuara. Satori tampak gelisah. Mbah Maryono meneruskan
perkataanya, “Semalam saya didatangi Aki Minarji. Ia memperingatkan kita untuk
mengingat kembali perjanjian kita. Jangan melanggar batas wilayah dan merusak
hutan mereka!”. Nada bicaranya menegas.
Setelah berhenti sejenak untuk
mengambil nafas, Mbah Maryono menatap tajam Satori. “Kang Satori, ada satu
warga mereka yang makan umpan beracunmu lalu meninggal. Panglima mereka San
Klonang marah besar”. Air muka Satori berubah menjadi kusut. Ia tampak
ketakutan. Tak sadar keringat dingin muncul di dahinya.
Mbah Maryono melanjutkan taklimatnya.
“Kambing-kambing kita yang mati merupakan bentuk kemarahan San Klonang. Kisah
yang selama ini kita dengar ternyata benar. Mereka manusia setengah macan
karena keturunan penjaga Prabu Siliwangi dari Pijajaran. Untungnya mereka masih
memegang janji tak akan membunuh warga seperti kita, hanya kambing-kambing yang
mati untuk memperingatkan. Kalau mereka sudah tak menghiraukan perjajian dengan
leluhur, habislah kita jadi makanan macan”.
Mbah Maryono lalu bertanya kepada
Riski yang sepertinya sudah usai melaksanakan tugasnya. “Riski, berapa kambing yang
mati?”. Pemuda itu menjawab sigap. “Semua ada 35 ekor mbah, lukanya sama,
gigitan di leher dan ada luka bekas cakaran kuku tajam di tubuhnya”.
Sesepuh Dusun Tundagan itu menghela
nafas panjang. Ia mengambil jeda cukup panjang untuk mempersiapkan perkataan
berikutnya. “Aki Minarji berpesan kepadaku untuk disampaikan kepada sedulur
sekalian agar menghormati perjanjian kita. Mereka sudah menabuh genderang perang
kepada Para Pemanggul Kapak, Para Pembawa Panah dan Para Perambah Hutan. Jika
tidak menghentikan aksinya mereka tak segan-segan mengganti mangsa dari kambing
menjadi daksa kita. San Klonang sudah
purna menjadi manusia setengah harimau yang bisa berubah sewaktu-waktu”.
Setarikan nafas, Mbah Maryono lalu
bertanya, “Apakah sedulur sekalian sanggup menjaga perjanjian kita??, lalu mengedarkan
pandangan.
“Sanggup Mbah,” warga berteriak
serentak. Satori menyahut dengan suara hampir tak terdengar.
“Baiklah, sekarang kuburkan segera
kambing-kambing kalian. Besok, adakan upacara sedekah bumi. Kita nanggap(27) juga Lengger
untuk menghibur saudara kita Wong Alas
Carang Lembanyung yang kesripahan(28).
Semoga permasalahan ini segera usai dan kita bisa hidup berdampingan kembali
dengan mereka serta bersama-sama menjaga hutan kita. Oh ya, aku ingatkan, tak
usah berita ini sampai kepada pihak luar,” ucap Mbah Maryono, Ia menutup sesorah-nya.
Warga yang berkerumun segera bubar
kembali ke rumah masing-masing. Kusni menggandeng tangan Darsiti dan mempercepat
jalan menuju gubuk mereka. Ia harus menguburkan kambing lalu mengurus kebun
kopinya. Kampung Tundagan kembali hening.
-o-
Puncak Gunung Cupu kembali tenang dan
menghanyutkan seperti biasanya. Dua ekor cataka(29)
berputar-putar di nabastala(30)
seolah mengajak bercanda payoda(31).
Matanya yang tajam sanggup menembus rimbunya dedaunan untuk mengincar mangsa.
Sekali lengah, cataka itu sanggup
menukik dengan cepat dan kembali mengangkasa dengan mangsa tercengkeram kukunya
yang tajam..
Pada batu pipih tempat San Klonang
malih rupa semalam, Ia kembali duduk bersila saling berhadapan dengan Aki
Minarji. Tubuh telanjangnya berkilat memantulkan sinar surya. Ia mendengarkan
nasehat Aki Minarji dengan hikmat. “San Klonang, tugasmu sudah dilaksanakan
dengan baik. Semoga pesannya ditangkap dengan baik oleh Para Pemanggul Kapak,
Para Pembawa Panah, Para Perambah Hutan. Maryono juga sudah aku ingatkan akan
perjanjian leluhur kita untuk tak saling menggangu dan menjaga sama-sama hutan
ini”.
Lelaki yang sudah kelihatan semakin
lelah dan rimpuh(32) itu
meneruskan perkataannya. “Kau sudah menguasai ilmu warisan dari leluhur kita.
Jika dibutuhkan dan dalam keadaan mendesak kau bisa mengubah dirimu menjadi Sardula(33). Aku percayakan
masa depan Carang Lembayung kepadamu. Pimpinlah warga untuk menjaga hutan kita!”.
Batuk menjeda perkataannya, mengingatkan untuk menata
nafas terlebih dulu. “Ada satu bahaya yang aku liat mengancam kita kedepan. Selain
Para Pemanggul Kapak, Para Pembawa Panah, Para Perambah Hutan ancaman barunya
adalah Kekasih yang Pura-Pura.
Hati-hati, mereka kaum munafik yang seolah-olah ingin menjadi saudara kita
tetapi justru maksud utamanya adalah merusak adat istiadat dan hutan kita.
Waspadalah!!”.
San Klonang memandang sesepuhnya itu
sebelum bicara. “Baik Aki, semoga aku bisa melaksanakan amanat berat ini,
menjaga kelangsungan Carang Lembayung dan melestarikan hutan kita”.
Mega-mega berarak kebarat. Bagaskara Manjer Kawuryan(34) menerangi
Gunung Cupu dan sekitarnya. Cerah dan hangat melimpahi deretan gunung dan bukit
dibelah sungai dan ngarai yang tampak dari mata cataka di angkasa lepas seperti
Sisik-Sisik Naga.
-o-
Catatan Kaki :
·
Wong Alas Carang Lembayung atau Suku
Pijajaran / Mijajaran adalah legenda yang hidup di masyarakat yang berbatasan
dengan kawasan Pegunungan Zona Serayu Utara. Ceritanya berkelindan antara mitos
dan fakta. Kami pernah mengadakan diskusi mengenai suku ini dan artikel
lengkapnya bisa dibaca di sini.
·
Peristiwa matinya 35 ekor kambing warga Dusun
Tundagan, Watu Kumpul diceritakan warga sekitar kepada sesepuh Perhimpunan
Pegiat Alam (PPA Gasda) Kang Taufik katamso.
·
San Klonang, Minarji dan Teplo adalah
tokoh-tokoh dari Suku Carang Lembayung
·
Pegunungan Zona Serayu Utara yang di kawasan
utara Purbalingga berbatasan dengan Pemalang dan Banjarnegara jika dilihat dari
google earth tampak seperti
sisik-sisik naga sehingga kami menamakanya dengan Pegunungan Sisik Naga. PPA
Gasda bekerjasama dengan pecinta alam Purbalingga menyelenggarakan sebuah ekspedisi untuk mengungkap kekayaan alam disana
pada Oktober 2020. Hasilnya bisa ditonton disini.
·
Istilah Para Pemanggul Kapak, Para Pembawa
Panah, Para Perambah Hutan dan Kekasih yang Pura-pura berasal dari Cerpen Teguh
Pratomo (Kang Toge) berjudul Kasan Wolu yang juga bercerita mengenai Suku
Carang Lembayung.
·
Kisah ini fiksi meski ada kesamaan nama
tempat dan nama tokoh. Sumber foto : www.eventkampus.com
·
Kosa-kata :
1. Bagaskara = matahari
2. Manjer Kawuryan = bersinar
terang
3. Jumawa = Sombong
4. Curug = air terjun
5. Taksaka = ular
6. Udeng = ikat kepala
7. Sarayu = hembusan angin
8. Sesorah = pidato
9. Ambu = ibu (sunda)
10. Jelema luar = orang luar (sunda)
11. Supa = jamur (sunda)
12. Gendewa = busur panah
13. Sasadara = rembulan
14. Tiis = dingin (sunda)
15. Haneut = hangat (sunda)
16. Maung = harimau (sunda)
17. Nggegirisi = menyeramkan
18. Bhayangkara = prajurit penjaga
19. Leuweung = hutan (sunda)
20. Daksa = tubuh
21. Damar = lampu minyak
21. Macan Loreng = Harimau
22. Geger Genjik = perumpamaan untuk keributan yang luar biasa seperti riuhnya Genjik (Genjik = anak celeng / babi hutan).
23. Wedus = kambing
24. Pulut = getah nangka
25. Paksi = burung
26. Celeng = babi hutan
27. Nanggap = menyelenggarakan pertunjukan
28. Kesripahan = tertimpa kemalangan
29. Cataka = elang
30. Nabastala = langit
31. Payoda = awan
32. Rimpuh = rapuh
33. Sardula = harimau
2 Responses to " SAN KLONANG : “Mendung di Carang Lembayung”"
Betah w bacanya .keren om .lanjut ....
Mantap kang
Post a Comment