Puteri Ayu Limbasari dan Cantik Berbuah Petaka
Ilustrasi Wanita Cantik dalam diri Prisia Nasution / Srintil di Film Sang Penari (Dok : www.culture360.asef.org) |
Bagaimana kecantikan itu berbuah petaka? Begini ceritanya :
Alkisah, ada mubaligh bernama Syech Gandiwasi yang berasal dari Kesultanan Ngerum datang ke Pulau Jawa. Ia datang untuk membantu Kanjeng Panembahan Senopati Ing Ngalogo Mataram menyebarkan Agama Islam di Pulau Jawa.
Orang Jawa menyebut Turki Usmani sebagai Kesultanan Ngerum asal kata dari Ruum atau Romawi (Kontantinopel), nama sebelum jatuh ke tangan Turki.
Syech Gandiwasi atau yang juga kerap disebut di lidah kawula Jawa Dwipa sebagai Kiai Kendilwesi kemudian menyebarkan Agama Islam di kawasan kaki Gunung Slamet. Saat itu, gunung yang juga disebut Gunung Agung atau Gunung Ghora masih dihuni oleh banyak kerajaan lelembut. Masyarakatnya juga belum mengenal Islam.
Sampai di wilayah utara Gunung Slamet, Ia ingin rehat sejenak. Namun, sungai yang hendak digunakanya mandi ternyata banyak dihuni Belis (Iblis). Oleh karena itu, Ia kemudian memohon kepada Allah SWT dengan cara bersemedi. Setelah berhasil menenangkan diri, diusirnya para jin dan belis penghuni sungai. Mereka kejar-kejaran (udag-udagan) sampai akhirnya jin menyerah dan kemudian menyingkir (semisih).
Kedung yang menjadi kerajaan jin kemudian disebut dengan Kedung Belis. Tempat Ia bersemedi (mujan) kemudian dinamakan Pamujan. Sementara, lokasi udag-udagan dengan para jin disebut Dagan. Lalu, tempat jin semisih kelak disebut Panisihan.
Setelah mengusir jin, Syech Gandiwasi bermaksud pindah ke tempat yang lebih nyaman. Maka ditumpuklah dua buah batu sebesar rumah di sebuah tanjakan tinggi. Kemudian, Ia berdiri di atas tumpukan batu itu untuk melihat kondisi lokasi tinggal yang tepat. Batu bertumpukan itu kemudian dikenal dengan sebutan Watu Tumpang.
Setelah berpindah-pindah, Syech Gandiwasi menemukan tempat yang cocok untuk membangun padepokan. Semakin lama semakin berkembang dan kemudian diberi nama Padepokan Nimbasari asal kata dari ‘nimba’ / ‘ngangsu’ artinya ‘mencari dan ‘sari’ yang bisa berarti ilmu. Jadi, padepokan untuk mencari ilmu. Lama kelamaan, Nimbasari menjadi Limbasari.
Suatu hari, datanglah dua orang yang berasal dari Pulau Dewata bernama Ketut Wlingi dan Patra Wisa. Mereka berdua datang ke Limbasa untuk mencari orang yang linuwih dalam kanuragan juga ilmu budhi. Setelah bertemu dengan Syech Gandiwasi mereka mengakui ketinggian ilmu dan budhinya sehingga secara sukarela masuk Islam serta menjadi cantrik Padepokan Limbasari.
Dua orang Bli dari Bali itu sangat ahli dalam bidang pertanian. Sistem sawah ‘subak’ yang ada di kampung halaman mereka dikenalkan di Limbasari. Walhasil, padepokan itu pun semakin berkembang pesat. Muridnya semakin banyak dan ramai sehingga membutuhkan tambahan lahan papan dan pangan.
Untuk menambah kebutuhan air sawah, dibuatlah saluran irigasi dan bendungan, dua orang murid kesayangan itu yang ditugaskan memimpin proyeknya. Ketut Wlingi mengomandoi pembuatan saluran yang menyalurkan mata air di Gunung Kelir. Sedangkan, Patra Wisa memimpin pembuatan bendungan yang membendung Sungai Tungtung Gunung. Naas, terjadi sebuah kecelakaan yang menyebabkan dirinya meninggal.
Saluran air yang dibuat Ketut Wlingi dinamakan Kali Wlingi. Kemudian, sebagai penghargaan terhadap Patra Wisa, Ia diabadikan menjadi nama bendungan dan aliran sungai yang dibuatnya.
Setelah Padepokan Limbasari semakin baik, Syech Gandiwasi merasa sudah saatnya memilliki penerus. Ia kemudian menikahkan Ketut Wlingi dengan putrinya yang bernama Siti Rumbiah. Mereka membuat Limbasari semakin bersinar. Pasangan itu dikaruniai sepasang anak. Anak pertama laki-laki diberi nama Wlingi Kusuma dan kedua seorang perempuan yang diberi nama Dyah Ayu Sri Wasiati.
Perpaduan Ngerum alias Turki yang ada di Benua Eropa dengan darah Bali dan Jawa menghasilkan keturunan blasteran jempolan. Wlingi Kusuma tumbuh jadi pemuda gagah seperti Arya Saloka, aktor sinetron Ikatan Cinta. Ia juga sakti mandraguna. Sementara Dyah Ayu Sri Wasiati tumbuh menjadi gadis cantik jelita. Bayanganku mirip-mirip perpaduan Prisia Nasution dan Happy Salma lah dia... hehe.
Setelah menginjak usia dewasa, kecantikan Sri Wasiati semakin menjadi-jadi. Bodinya semlohai laksana gitar Spanyol. Kulitnya kuning langsat, bersih dan bercahaya. Pipinya ada lesung pipit yang kalau senyum mengigit hati. Rambutnya panjang, hitam, lebat berkilau menggoda. Lirikan matanya kayak Penari Jangger, bikin jantung lelaki berdegup kencang seperti genderang mau perang...
Singkat kata, wanita idaman pria lah Si Kembang Limbasari ini. Bibit unggul cuuy...
Sudah barang tentu, ada kembang pasti ada kumbang yang datang. Banyak orang yang memuja Sri Wasiati dan mendamba ingin menjadi pendampingnya. Kalau ‘mokondo’ jelas hanya bisa ngimpi. Namun, orang yang merasa punya cukup modal berlomba untuk memikat hatinya dengan berbagai cara.
Suatu ketika, tak tangung-tanggung, empat orang adipati di wilayah sekitar Padepokan Limbasari serempak melamar Sri Wasiati. Mereka adalah Adipati Wirayuda dari Bandingan, Adipati Wiratenaya dari Penisihan, Adipati Wirataruna dari Beji dan Adipati Wirapraja dari Sawangan.
Lamaran yang datang bersamaan itu membuat bingung pihak keluarga perempuan. Orang tuanya memyerahkan keputusan pilihan sepenuhnya kepada Sri Wasiati. Ia pun jadi gundah. Sebenarnya tak seorangpun dari keempat adipati itu menarik hatinya. Meski berkuasa dan tajir, mereka sudah tuwir. Istri pun mereka sudah punya pula.
Sebagai remaja wanita, tentu saja pria idamanya adalah seperti kakak yang ganteng dan mempesona. Akhirnya, Sri Wasiati curhat ke kakaknya, Wlingi Kusuma. Ia meminta pertimbangan dan solusi atas permasalahan pelik itu.
Sebagai kakak yang baik dan bertanggung jawab, Wlingi Kusuma memberikan jalan keluar, yaitu sebuah sayembara. Isinya : barang siapa dapat mengalahkan dirinya dalam pertarungan one on one, maka dialah yang berhak menjadi pendamping adiknya. Wlingi Kusuma cukup pede, tak ada seorangpun yang lebih digdaya dari dirinya. Ia ditempa oleh ayah dan kakeknya dengan ilmu kanuragan yang cukup mumpuni. Apalagi usianya masih muda, tenaganya kuat dan badannya juga kokoh.
Benar saja, dalam pertarungan satu lawan satu itu, tak seorangpun dari semua Adipati itu bisa mengalahkan Wlingi Kusuma. Mereka semua babak belur dihajar Jagoan Limbasari. Sudah kalah umur, kalah juga ilmu jaya kawijayan yang dimiliki.
Dasar mental pengecut, keempat adipati itu bersiasat licik. Mereka sepakat mengeroyok Wlingi Kusuma. Masih saja tetap kewalahan. Wlingi Kusuma itu punya ilmu ‘rawa rontek’ susah sekali kena pukul, kalaupun kena karena dikeroyok dan ambruk, bisa bangkit lagi tanpa kurang suatu apa.
Saat para adipati itu gelap mata dan mulai menggunakan senjata tajam, Wlngi Kusuma juga masih tegar melawan keempatnya. Tanganya ditebas balik lagi. Sampai-sampai, sudah dipenggal saja, kepalanya menggelinding bisa nempel lagi. Ealahh, malah bisa balik ngejek...
“Yaelah, sudah maju berempat masih saja cemen lu pade, mending pada pakai kemben aja gih...,” begitu kira-kira kata Wlingi Kusuma yang akhirnya ketempelan juga setan jumawa.
Wlingi Kusuma mulai petantang-petenteng melihat musuh-musuhnya kelabakan tak dapat mengalahkannya meski sudah keroyokan. Ia besar kepala, over pede dengan ajian ‘rawa rontek’ nya dan meremehkan mereka.
Empat adipati yang panas, dendam campur malu sudah merasuk hatinya. Mereka minta break sebentar, Wlingi Kusuma tanpa curiga memenuhi. Empat adipati itu berembuk. Kalau kepepet muncul sada ide brilian. Mereka sepakat untuk memutilasi Wlingi Kusuma sebagai solusi agar ajian ‘rawa rontek’ patah.
Pertarungan kembali terjadi. Kuartet adipati mengeroyok Wlingi Kusuma lagi. Merasa diatas angin, Kakak Sri Wasiati itu membiarkan senjata tajam mencabik dirinya. Rencananya pas nyatu lagi, Ia mau mengakhiri pertarungan dan menjungkalkan empat adipati itu. Rupanya keinginan yang ada di benaknya tak kesampaian. Sesuai strategi culas empat adipati, setelah tubuhnya berhasil ditebas, bagian-bagiannya segera dibawa pergi agar tak sempat menyambung kembali.
Kepalanya ditenteng Wirapraja kemudian dikubur di Siregol. Bupati Bandingan Wirayuda membawa pulang kedua kaki Wlingi Kusuma. Eh, meski sudah terpisah masih gerak-gerak kakinya sehingga sesampai di sebelah barat Sungai Laban dikubur, masih gerak-gerak juga sehingga pengikutnya diminta untuk menjejakan kakinya di kuburan tersebut. Lokasi itu kemudian diberi nama Lemah Jejekan.
Pertarungan yang melibatkan amarah kadang menimbulkan tragedi memilukan dan kekejaman tak terperi. Itulah yang terjadi pada Wlingi Kusuma.
Masih berlanjut kekejaman atas dirinya, kemaluannya dipotong dan dibawa Adipati Wirataruna untuk dikubur. Lokasinya yang kemudian disebut dengan Sikonth*l. Kemudian, Wiratenaya kebagian membawa gembung / perut / lambung Wlingi Kusuma. Ajaibnya, meski sudah terpisah dari bagian tubuh lainnya, lambungnya masih bisa kembang kempis seperti hidup. Sebab dilanda ngeri, dikuburkanlah di perjalanan sebelum sampai Penisihan. Tempat itu kemudian diberi nama Palumbungan.
Akhirnya, Wlingi Kusuma Sang Kesatria Limbasari meninggal. Ilmu Rawa Rontek-nya sudah tidak mujarab, tak kuasa lagi menyatukan tubuhnya yang telah dipisah-pisah.
Kematian Wlingi Kusuma yang dikeroyok secara licik itu tentu saja menggemparkan Limbasari. Sri Wasiati merasa amat sangat bersalah. Sebab, kematian kakaknya itu karena sebuah sayembara yang dilakukan untuk membela dirinya.
Konyolnya, meski sudah membunuh kakaknya dengan kejam, empat adipati itu masih saja ngebet ingin memiliki Sri Wasiati dan menagih sayembara. Mereka sudah merasa menang dan masing-masing merasa layak memiliki Kembang Limbasari.
Sri Wasiati kemudian mencari sebuah cara untuk menghindari nafsu keempat adipati. Ia meminta waktu untuk bermunajat kepada Tuhan sebelum membuat keputusan. Sri Wasiati kemudian memilih untuk laku tapa pendhem. Caranya, Ia menguburkan diri dalam ‘liang lahat’ yang diberi seutas benang panjang menjulur ke permukaan tanah. Pesannya sebelum dimasukan ke liang adalah dalam waktu satu pekan, bila benang ditarik masih bergerak, artinya ia masih hidup dan akan memberikan keputusan.
Setelah selesai waktu yang ditentukan, benang itu lalu ditarik, tetapi tidak bergerak sama sekali. Setelah dibongkar, Sri Wasiati sudah meregang nyawa.
Para adipati yang dipanggil ke Limbasari untuk melihat prosesi itu terpukul. Mereka menyesal dengan apa yang telah diperbuat, baik kepada Wlingi Kusuma maupun Dyah Ayu Sri Wasiati. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Gadis pujaan mereka sudah menjadi mayat.
Kematian Sri Wasiati yang tragis dinilai sebagai langkah patriotis. Ia dianggap sudah mengorbankan nyawanya demi kepentingan yang lebih besar, yaitu, ketentraman dan kedamaian di Limbasari. Sebab, jika dia memilih salah satu adipati tentunya akan terjadi kekacauan karena tiga lainnya tidak akan terima. Terlebih, Ia juga tak sudi menikahi orang yang sudah membunuh kakaknya
Akhirnya, cara dia dengan laku tapa pendhem yang berujung kematian diangap sebagai solusi, meskipun, Ia juga harus membayar dengan nyawanya.
Atas berbagai pengorbanannya, Sri Wasiati kemudian mendapat julukan sebagai ‘Putri Ayu Limbasari’. Ia dianggap sebagai wanita yang cantik luar dalam.
Selain itu, Sri Wasiati juga membuktikan sebuah adagium bahwa cantik itu tak melulu membawa kebahagian tetapi seringkali juga mendatangkan luka dan malapetaka. Oleh karena itu, Ketut Wlingi berpesan kepada gadis-gadis Desa Limbasari agar berlaku sederhana saja.
“Wahai para wanita cantik janganlah tetaplah rendah hati, jangan sombong, apalagi sok cantiiik...,” begitu kira-kira pesannya.
Sebagai informasi, legenda ini bagi sebagian masyarakat dianggap sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi, bahkan, ada makam yang diyakini sebagai makam Putri Ayu Limbasari masih terjaga dengan baik dan dianggap keramat. Saat ini, lokasinya di seberang Galeri Batik Muning Sari. Dulu, Lokasi tersebut juga dipercaya adalah kompleks Padepokan Limba Sari, namun, tidak ada peninggalan / sisa-sisa bekas padepokan.
Ada juga kepercayaan, konon, gadis-gadis yang kencantikanya luar biasa di Limbasari tak berumur panjang. Wallahualam...
Hmm, kaya kue luuurrr.... ayu ora saben gawe berkah bisa bae malah dadi musibah...
Makam Puteri Ayu Limbasari (Dok : www.langgamlangitsore.blogspot.com) |
Sumber :
Artikel Pak Triatmo yang bisa dibaca di sini
Tulisan Mbak Anita Wiryo Raharjo yang bisa dibaca di sini
Buku 'Pasang Surut di Lereng Timur Laut Gunung Slamet'
2 Responses to "Puteri Ayu Limbasari dan Cantik Berbuah Petaka "
Masukkk ... Masukk .. masukkk
Dagan berasal dari kata "Kendaga" utawi "Pendaga". Yang bermakna kotak penyimpanan. Jika dimaknai lebih khusus bermakna kotak penyimpanan ilmu. Jadi bisa disimpulkan bahwasanya Dagan adalah sumber ilmu. Dan untuk membuka kotak ilmu tersebut dibutuhkan kunci tirakat nguri-uri budaya. - Abah Jazuli-
Mohon maaf, sekedar sharing ada data dan versi lain tentang Dagan. Nuwun.
Post a Comment