Soengkono : Panglima Pertempuran Surabaya 10 November 1945 Asal Purbalingga
Soengkono, Pahlawan 10 November asal Purbalingga (Dok : gahetna.nl) |
Padahal,
Soengkono adalah aktor utama dalam Pertempuran Surabaya yang atas peristiwa itu
kemudian ditetapkan Hari Pahlawan. Pada 10 November 1945, Ia adalah
perwira Badan Keamanan Rakyat (BKR) berpangkat kolonel yang menjabat sebagai
Komandan Pertahanan Surabaya, markasnya di Jalan Pregolan 4.
Menurut
sejarawan Australia Frank Palmos, Soengkono memiliki porsi yang besar lantaran mengorganisir
tentara dalam pertempuran tersebut. “Benar adanya bahwa pidato-pidato malam
berapi-api yang dibawakan Bung Tomo menggugah semangat para pejuang, sekaligus
menjengkelkan bagi Inggris, tapi beliau hanya berpidato bukan mengatur tentara
di medan laga,” tulis Palmos dalam buku ‘Surabaya
1945 : Sakral Tanahku’.
Pada buku
yang sama disebutkan, saat keadaan Surabaya semakin genting Soengkono
berkoordinasi dengan Gubernur Suryo dan para pimpinan pejuang lainnya untuk mengatur siasar. Ia meyampaikan pidato singkat
malam 10 November 1945. "Saudara-saudara, saya ingin mempertahankan Kota
Surabaya...Surabaya tidak bisa kita lepaskan dari bahaya ini,” ujar Soengkono.
Meski
singkat, sesorah itu kemudian
disambut dengan deklarasi kebulatan tekad para pejuang Surabaya mempertahankan
tanah airnya, ‘Merdeka atau Mati’. Apalagi ada dukungan dari ulama kharismatik
KH. Hasyim Asy’ary bahwa perjuangan mempertahankan tanah air adalah jihad di
jalan Allah.
Kolonel Soengkono diakui mempunyai peran penting dalam Pertempuran Surabaya. Soengkono yang baru menjabat pada Oktober 1945 musti berhadapan dengan tentara Sekutu yang dipimpin oleh Jenderal Militer Inggris berpengalaman Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby. “Nama Sungkono ini tidak bisa dipisahkan dengan Pertempuran Surabaya,” kata Soehario Padmodiwirio dalam Memoar Hario Kecik : Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit (1995, hlm. 258).
Mobil Brigjend A.W.S Mallaby yang Hancur di Surabaya (Dok : Wikipedia) |
Sutomo
alias Bung Tomo pun mengakui peran sentral dan ketenangan Sungkono seperti
tertulis dalam buku ‘Bung Tomo, dari 10 Nopember 1945 ke Orde Baru’ (1982, hlm.
80) menyebut Sungkono memilih sebuah rumah di Tegalsari sebagai markas
komandonya, tak jauh dari asrama Pasukan Berani Mati yang dipimpin oleh saudara
Djarot.. “Hingga pada saat-saat terakhir dipertahankannya Kota Surabaya,
Komandan Sungkono dengan tenang tetap berada di dalam markasnya,” tulis Bung
Tomo.
Surabaya, 10 November 1945 (Dok : Times Indonesia) |
Pertempuran
Surabaya sebenarnya sangat tak berimbang. Kalau dilihat dari sisi pengalaman
tempur ya jelas kalah jauh. Pimpinan tertinggi Sekutu Brigjen Mallaby sudah
puluhan tahun menjadi perwira perang. Lagi pula, Sekutu sebagai pemenang Perang
Dunia II juga dilengkapi dengan alutsista yang lengkap dan canggih. Sementara
itu, Soengkono sebagai pimpinan Pejuang Surabaya hanya dapat pelatihan komando
lapangan dari Jepang saat menjadi chodanco
PETA. Pasukannya pun sebagian besar pejuang serabutan bermodal nekat dengan
peralatan alakadarnya.
Oleh
sebab itu, fakta bahwa para pejuang bisa mempertahankan Surabaya selama
beberapa minggu layak dicatat sebagai prestasi tersendiri. Hal itu tak lepas
dari kepemimpinan Soengkono dalam memimpin pasukan dan arek-arek Surabaya
mempertahankan tanah airnya. Fakta berikutnya bahwa Soengkono sendiri saat itu masih cukup muda, 34 tahun, juga merupakan catatan tersendiri bahwa kaum muda memang berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan di Indonesia.
Kemudian, peran
sentral Soengkono tak hanya pada persitiwa 10 November 1945. Persediaan senjata yang
dimiliki Arek Suroboyo pun tak lepas dari campur tangan Sungkono. Sejak
September 1945, Ia memimpin perjuangan rakyat Surabaya untuk melucuti senjata
milik Jepang di Gubeng dan sekitarnya.
Nah, tahukah Anda bahwa panglima pertempuran hebat di Surabaya itu kelahiran Purbalingga?
Soengkono (kanan) dengan para Pejuang Surabaya ( Dok : gahetna.nl) |
Usai jadi pelaut, saat Jepang masuk, Ia menjadi tentara PETA dan
mengikuti latihan di Bogor Awal tahun 1945 diangkat menjadi chodancho (komandan kompi) dengan
pangkat kapten dan ditempatkan di Daichi Daidan Surabaya. Setelah proklamasi
kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, Ia mengajak mantan anggota PETA, HEIHO dan KNNIL serta pemuda pejuang bergabung dalam Badan
Keamanan Rakyat (BKR). Mereka bertugas merebut senjata dari tangan Jepang.
Merunut catatan, persenjataan dan peralatan perang yang
disita dari Jepang cukup fantastis, terdiri dari 19.000 senapan, 700.846 pistol
otomatis, 422.700 senapan mesin ringan dan 480.504 senapan mesin sedang.
Senjata lain berupa 148 pelempar granat, 17 meriam Infanteri, 63 mortir, 400
mortir baru, 1525 meriam anti tank, 62 kendaraan panser dan 1990 kendaraan
bermotor.
Persenjataan rampasan jepang yang dirampas Soengkono
itulah pejuang Surabaya mampu memberikan perlawanan yang alot terhadap Sekutu.
Pimpinan tertinggi pasukan sekutu, Brigjend Mallaby bahkan harus menjemput ajal
di tangan pejuang Surabaya 30 Oktober 1945. Sekutu pun ngamuk dan rakyat – pejuang
Surabaya diultimatum untuk menyerah dan melucuti senjata. Tentu saja mereka tak
sudi dan lebih baik mati berkalang tanah sehingga terjadi perang besar 10
November 1945 dimana Soengkono, putera Purbalingga mengambil peran sentral
dalam peristiwa itu.
Usai perang, karir Soengkono cukup moncer. Pada tanggal 3
Maret 1946, ia diangkat sebagai Panglima Divisi VII TKR, meliputi daerah Surabaya, Bojonegoro dan Madura. Tanggal 23 Mei 1946, terjadi daerah pergeseran divisi
dan Sungkono menjadi panglima divisi VI TRI Narotama, yang daerahnya meliputi Surabaya,
Madura dan Kediri. Kemudian, Ia diangkat
menjadi Ketua Gabungan Komando Pertahanan divisi – divisi V, VI, VII TRI Jawa
Timur.
Setelah Perjanjian Renville 17
Januari 1948 di Jawa Timur diadakan konsolidasi pasukan. Markas Besar Tentara
(MBT) membentuk Dewan Tata Tertib Opsir Tinggi (DTTOT) di bawah pimpinan Mayor Jenderal A.H Nasution dengan
alasan reorganisasi dan rasionalisasi Angkatan Darat. Sungkono
diturunkan pangkatnya menjadi Letnan Kolonel. Ia menghadap Panglima Besar Jenderal Soedirman yang sama – sama berasal
dari Purbalingga untuk gendu-gendu rasa atas tindakan yang dinilai tidak adil itu. Soengkono disarankan
oleh Soedirman untuk menerima dan tetap menunjukan ketaatan dan
kepatriotannya dengen mengedepankan semangat bela negara.
Pada 1948 terjadi pemberontakan PKI di Madiun pimpinan
Alimin dan Muso. Presiden Soekarno menyatakan Negara Dalam Keadaan Bahaya (Staats van Oorlog en Beleg) pada 18
September 1948. Untuk mengatasi pemberontakan PKI itu, Soekarno mengangkat
Sungkono menjadi Gubernur Militer Jawa Timur dan pangkatnya dikembalikan
menjadi Kolonel. Tugas utamanya adalah menumpas pemberontakan PKI Madiun dan
hanya dalam waktu 1 bulan pemberontakan itu berhasil ditumpas dan keamanan
pulih kembali.
Atas prestasi itu, Kolonel Soengkono kemudian dilantik
menjadi Panglima Divisi I Brawijaya yang membawahi seluruh Jawa Timur. Baru
satu setengah bulan menjabat Panglima, 19 Desember 1948, Belanda kembali
melakukan aksi militer sementara internal juga terjadi pemberontakan lagi di
Jawa Timur sehingga Soengkono harus menghadapi dua front. Di satu sisi
menghadapi Belanda, di sisi lain menghadapi pengacau di garis belakang yaitu
TRIP Batalyon Zaenal dan batalyon 38 pimpinan Sabarudin. Kedua front itu
ternyata bisa dimenangkan dan diselesaikan dengan baik.
Pada 24 Desember 1949, Ia memimpin republik menerima
penyerahan kedaulatan Republik Indonesia dari komandan Divisi A Belanda Mayor
Jenderal Baay. Berikutnya, Karir Soengkono berkutat di Jawa Timur. Setelah itu,
baru pada 16 Juni 1950 Ia alih tugas ke Jakarta dan pangkatnya naik menjadi
Brigadir Jenderal. Delapan tahun kemudian, Ia diangkat menjadi Inspektur
Jenderal Pengawasan Umum Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal. Jabatan
terakhir sampai memasuki masa pensiun pada 1968 adalah penasehat Menteri / Pangad.
Soengkono wafat pada 12 September 1977. Ia dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Surabaya. Sebagai penghormatan, nama Mayjend Soengkono
diabadikan sebagai nama jalan utama di Surabaya tempat Ia memimpin palagan 10
November 1945 juga di tanah kelahirannya, Purbalingga.
Mayjen Soengkono (Dok : Surabaya Story) |
1. Buku ‘Tokoh-Tokoh Purbalingga’ karya Pak Triatmo (2017) di mana saya
sebagai kontributornya
2. Artikel di Kumparan ‘Mengenang Sungkono, Panglawah Pertempuran Surabaya yang Terlupakan’
di sini https://kumparan.com/kumparannews/mengenang-sungkono-pahlawan-pertempuran-surabaya-yang-terlupakan-1541826783008367800/full
3. Biografi Soengkono di https://id.wikipedia.org/wiki/Soengkono
4. Artikel di Tirto ‘Soengkono Jagoen Pertempuran 10 November 1945 Kawan Tan Malaka’ di
sini https://tirto.id/sungkono-jagoan-pertempuran-10-november-1945-kawan-tan-malaka-gkak
1 Response to "Soengkono : Panglima Pertempuran Surabaya 10 November 1945 Asal Purbalingga"
Saya selama ini mengira Bapak Soengkono berasal dari Jawa Timur, mengingat sejarah mencatat banyak peranan beliau di sana, ternyata malah dari Purbalingga. Ternyata banyak tokoh pahlawan asal Purbalingga
Post a Comment